6

7.3K 281 0
                                    

Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Aishwa telah sampai di depan perumahan Karawaci—tempat tinggal Najwa. Dia menetralisir perasaannya, menghapus jejak air mata yang membasahi pipi. Melangkahkan kaki mencari blok perumahan Najwa.

Sepanjang jalan, Aishwa teringat dengan peristiwa tadi. Dia tidak habis pikir kalau masih ada laki-laki pengecut seperti itu. Dada Aishwa terasa sesak mendengar ucapan laki-laki itu tadi, yang mengatakan kalau dirinya telah terjual.

Aishwa jadi bertanya-tanya, apakah sang kakak yang menjualnya? Sebenci itukah sang kakak kepadanya sampai menjual dirinya? Tangan Aishwa terulur menyeka air mata yang jatuh setetes.

Aishwa sudah sampai di pintu gerbang rumah Najwa, dia menekan bel di samping gerbang itu. Tidak lama kemudian, Najwa keluar dari dalam rumah menghampiri pintu gerbang. Gadis berkacamata itu membukakan pintu gerbang untuk Aishwa dan mempersilahkannya masuk.

"Kamu enggak apa-apa, Ish?" Najwa bertanya saat mereka sampai di ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya.

"Aku? Aku enggak apa-apa," balas Aishwa seraya tersenyum kikuk.

"Assalamu'alaikum kalian," sapa Aishwa mengalihkan pembicaraan.

"Wa'alaikumsalam," balas serempak Juvi dan Geo.

"Kamu yakin enggak apa-apa, Ish? Mata kamu kayak yang habis nangis tahu," kata Geo—laki-laki bersurai hitam cepak itu merasa khawatir melihat Aishwa.

Aishwa menggeleng kecil, mengulas senyum lebar secara paksa. Mengembuskan napas dengan pelan, beruntung dia memiliki teman seperti mereka. Selalu bertanya tentang keadaannya, mengkahwatirkannya, dan pastinya peduli.

"Aku enggak apa-apa. Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku," ucap Aishwa menyakini teman-temannya.

"Ayo, kita mulai kerja kelompoknya." Aishwa meraih buku bersampul merah yang merupakan buku kelompok mereka, sedangkan Juvi, Najwa, dan Geo menyusun peta konsep dan berbagai proyek lainnya.

***

Gara menepikan mobilnya didekat pintu masuk perumahan Karawaci. Seulas senyum miring terukir di bibir, mungkin saja gadis itu berpikir bisa lari dari dirinya di lampu merah tadi dan terlepas dari seorang Gara. Tidak semudah itu melepaskan diri dengan orang seperti Gara.

Tangan laki-laki itu terulur mengambil gawai di saku jaket kulitnya. Dia menelepon Tara meminta laki-laki itu untuk segera datang ke perumahan Karawaci. Sepertinya akan menyenangkan kalau dia melibatkan Tara ikut dalam permainan busuknya.

"Lo pikir bisa lari dari gue, Aishwa?" gumam Gara sesudah menelepon Tara.

Tatapan Gara tertuju ke depan sana, mengawasi pintu masuk ke perumahan Karawaci. Menunggu Aishwa keluar dari area perumahan itu. Jika kalian bertanya kenapa Gara bisa mengetahui keberadaan Aishwa? Maka Gara akan menjawab, 'Tidak ada yang bisa membodohi seorang Gara.' Laki-laki itu sengaja menempelkan gps berbentuk kancing baju di baju Aishwa tadi.

Gps itu merupakan Gps buatan, yang Gara rancang sendiri. Tidak semudah itu seseorang melepaskannya, kecuali si pemilik gps itu sendiri yang melepaskannya. Gara tidak henti-hentinya mengumpati gadis itu, dia pikir Aishwa seperti gadis SMP yang lain. Bersikap polos dan lugu, tetapi dia salah. Aishwa sangat waspada bertemu dengan orang baru, bahkan sedikit pemberontak.

"Menarik sangat menarik." Gara kembali bergumam seraya membayangkan wajah ketakutan dari gadis itu tadi, ditambah dengan pemberontak melepaskan diri.

Jendela mobil terketuk, membuat lamunan tentang Aishwa buyar begitu saja. Gara menoleh menatap siapa yang mengetuk jendela tersebut. Dia menurunkan sedikit kaca jendela, lalu berkata, "Masuk!"

Orang yang disuruh oleh Gara mematuhi perintah itu. Dia ikut masuk ke dalam mobil, menatap Gara dengan banyak pertanyaan.

"Lo kenapa ada di sini, Gar?" tanya laki-laki itu.

Gara tidak menjawab, dia malah sibuk mengawasi pintu masuk perumahan itu. Sementara laki-laki yang berada disampingnya, berdecak kesal.

"Kalo lo nyuruh gue dateng ke sini cuma kayak gini. Mending tadi gue enggak ngeiyain," sentak Tara.

Gara menatap Tara dengan sinis, sangat menyebalkan kalau sudah bertemu dengan orang seperti Tara.

"Lo ... bisa enggak jangan banyak tanya? Tugas lo cuma bantu gue buat nangkep si Aishwa," ucap Gara dengan nada sedikit membentak.

"Aishwa?" Tara tampak berpikir, sepertinya dia pernah mendengar nama itu, tetapi di mana?

"Perasaan gue pernah denger itu nama," kata Tara.

"Nama adiknya Rajendra," balas Gara dengan acuh.

"O, jadi lo pergi tadi itu buat jemput tuh cewek. Gila lo ya, dan sekarang tuh cewek kabur gitu?"

Gara memilih diam, mengabaikan pertanyaan itu. Tidak ada gunanya juga menjawab pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya oleh si penanya itu sendiri.

"Gue bisa bantu, tapi harus ada imbalannya." Tara kembali berucap, dia juga tidak mau rugi sendiri.

"Setelah gue," ujar Gara sekena.

Bola mata Gara berhenti di satu objek yang menarik perhatiannya. Senyum miring kembali terukir di bibir saat melihat seorang gadis yang sudah dia tunggu sedari tadi.

"Tuh cewek, lo tahukan tugas lo apa?" Gara menatap Tara sekilas, lalu kembali menatap Aishwa yang sedang berjalan ke arah jalan raya untuk menemukan angkot.

Kesucian yang ternodaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang