12

5.5K 237 10
                                    

"Rajendra!"

Teriakan Farhan menggema di sudut ruang tamu. Kilatan amarah penuh membara di balik iris matanya. Benaknya diliputi oleh api kemarahan saat tahu apa yang terjadi tiga hari terakhir dalam rumah keluarganya.

Tubuh Rajendra menengang, dia merasa atmosfer di sekitar berubah menjadi mencekamkan. Apalagi ditambah oleh kilatan amarah sang papa. Keringat dingin membasahi pelipis. Rajendra menelan salivanya susah payah saat sang papa berjalan menghampirinya.

"Katakan dengan sejujurnya, Rajendra Pratama! Katakan kalau semua yang terjadi ini bukanlah ulah dirimu?" tukan Farhan menatap penuh selidik ke arah Rajendra.

Tubuh Rajendra terasa panas dingin mendapat tatapan tajam dari sang papa. Alarm bahaya menggema dalam dirinya. Mulutnya terkatup rapat. Memikirkan bagaimana caranya menghindari pertanyaan dari Farhan. Rasa takut menggelayuti, terlebih Rajendra sangat mengenal sang papa. Bagaimana sang papa bila sudah marah besar.

"J–jendra e—"

Suara tamparan menggema, membuat Aishwa mendongak menatap sang papa tidak percaya. Rasa nyeri dan panas terasa di pipi kirinya. Tamparan itu begitu keras sampai wajah Rajendra tertoleh ke arah kiri. Napas Rajendra memburu, menahan setiap amarah menggelayuti benak.

"Dasar anak tidak tahu diri!"

"Katakan dengan sejujurnya Rajendra. Kamu mendapatkan uang dari mana?" Farhan mencoba bersabar menghadapi anak sulungnya.

Tangan Rajendra terkepal kuat. Memegang pipi yang terasa nyeri sekilas. Lalu menatap Farhan dengan penuh permusuhan. Sudah cukup, dia tidak mau lagi seperti ini. Hidup di bawah tekanan terus menerus.

"Apa? Kenapa melihat Papa seperti itu? Katakan, apa ini semua ulah kamu?"

"Bukti? Mana buktinya kalo ini emang ulah saya!" bentak Rajendra lepas kendali.

Farhan tersentak. Menatap tidak percaya ke arah sang anak sulung. Pertama kalinya mereka bertengkar seperti itu—saling berteriak melampiaskan emosi.

"Sudah berani rupanya kamu, huh?" Farhan menghadap ke arah Rajendra. Menatap sang anak dengan tatapan penuh intimidasi.

Rajendra tidak merasa takut sama sekali. Dia masih mengepalkan tangannya kuat-kuat guna meredakan amarah dalam dirinya sendiri. Tidak mau mengambil resiko melampiaskan kepada sang papa.

"Memang kenapa? Bukankah Papa juga sering berteriak tanpa alasan, bukan?"

Farhan mendengkus kasar. Dia seperti itu karena lepas kendali, tidak bisa menahan amarah sendiri. Bahkan yang sering menjadi objek kekesalan dan amarahnya ialah Aishwa.

"Papa seperti itu sebagai bentuk mendidik anak."

Rajendra tertawa buaya. "Apa? Mendidik? Mana ada orang tua ngedidik anak dengan cara dibentak-bentak enggak jelas!"

Kilatan amarah masih terpatri dari balik iris mata Rajendra. Dia masih marah, lebih tepatnya kecewa. Sudah tidak ada yang perlu diharapkan lagi dari keluarga sendiri. Banyak luka yang dirasa dalam rumah sendiri.

"Ingin jadi anak pembangkang?" Farhan masih setia menatap sang anak sulungnya. Penasaran akan uang yang diberi oleh Rajendra waktu kemarin.

"Sebelum Anda nanya gitu. Mungkin iya, saya memang pembangkang. Tidak tahu diuntung! Apalagi ya hinaan yang sering dilontarkan?" Rajendra seolah-olah sedang berpikir.

"Asal Anda tahu saja. Luka yang ditorehkan semenjak mama saya meninggal, mengangga begitu lebar! Bahkan sangat sulit disembuhkan!"

"Saya benar-benar kecewa dengan Anda. Kalo Anda ingin mengetahui kenapa gadis itu," jeda Rajendra sembari menunjuk ke arah Aishwa. "Menghilang, silakan cari tahu sendiri. Saya mengatakan apa yang saya lihat. Dia sama halnya seperti kupu-kupu malam!"

Rajendra bergegas seraya menyikut pelan bahu Farhan dengan sengaja. Dia tidak tahan berdiri mematung di sana. Ditambah dengan tuduhan seperti itu, bisa saja kedok dirinya terbongkar begitu saja.

Sepeninggalan Rajendra. Farhan menatap Aishwa sekilas. Entah apa yang sedang singgah dipikiran Farhan. Sadar akan ditatap, Aishwa memundurkan tubuhnya seraya memeluk dirinya sendiri. Takut sang papa marah kembali.

Dia tidak mau lagi menerima berbagai tamparan atau jambakan lainnya. Rasanya sangat sakit kalau ingatan itu muncul secara tiba-tiba.

Farhan memilih bergegas meninggalkan Aishwa menuju kamarnya. Rasa bersalah menyelimuti benak tatkala melihat ketakutan di wajah Aishwa. Farhan tidak tahu, apakah dia begitu jahat dan salah mendidik anak-anaknha atau bagaimana? Sejak kematian sang istri, dia masih belum ikhlas. Selalu saja nama Aishwa yang menjadi penyebab di balik kematian sang istri.

Aishwa menangis histeris seraya memeluk dirinya sendiri. Sempat terlintas sebuah ide gila yang bisa membuat dirinya merasa terbebas dari dunia, tetapi belum bebas dari akhirat—bunuh diri. Aishwa merasa tidak ada yang perlu lagi diperjuangkan. Harapan yang selalu didambakan pupus begitu saja karena tragedi malam itu.

Memori itu benar-benar buruk. Aishwa merasa kotor; penuh dengan noda. Susah payah dia mempertahankan sesuatu berharga dalam dirinya, tetapi terenggut begitu saja. Aishwa menyumpahi semua laki-laki itu.

"A–aku enggak sanggup ...," lirih Aishwa dengan parau.

Dia bangun dari duduknya, berjalan dengan pelan ke arah di mana kamarnya terletak. Mungkin dengan tidur, dia bisa melupakan masalah itu sejenak. Walaupun kenyataan mustahil. Aishwa selalu dibayangi-bayangi oleh tragedi itu. Saat dia memejamkan mata, dia merasa kalau bayangan itu selalu datang.

Kalau bisa memilih, Aishwa tidak ingin dilahirkan seperti ini. Apalagi di tengah-tengah keluarga yang tidak benar-benar baik. Aishwa selalu mengharapkan kebahagian kembali di keluarganya sendiri.

***

Malam kian larut. Suara jangkri terdengar saling menyahut satu sama lain. Jam menunjukkan pukul dua belas malam. Namun Aishwa masih belum memejamkan mata. Gadis itu tampak melamun dengan tatapan kosong menatap dinding berwarna cokelat dengan interior sederhana.

Aishwa tidak bisa tidur. Setiap kali dia ingin tidur dan memimpikan kebahagian. Bayangan buruk tentang tragedi itu kembali terlintas. Tidak mengenakan rasanya hidup dibayangi oleh trauma akibat tragedi itu. Batin Aishwa merasa lelah, dia merasa tidak berguna lagi untuk hidup. Akan tetapi, kalau dia mati ... siapa yang akan mengurus Atin, mengajak bermain, dan juga mendidik sang adik dengan benar. Dia tidak mau kalau sang adik bernasib sama dengan dirinya.

Aishwa juga tidak habis pikir dengan jalan pemikiran sang kakak. Dengan teganya menjual adik kandung sendiri kepada teman-temannya. Padahal selama ini Aishwa selalu memuji, menghormati Rajendra. Selalu berharap kalau Rajendra merupakan pahlawan pembela saat dia dijadikan lampiasan amarah sang papa.

"Jiwaku terasa sudah mati. Tidak ada gairah untuk melanjutkan kehidupan," gumam Aishwa.

"Mengingatnya membuat aku sangat ingin membunuh mereka semua ...," lirih Aishwa dengan sesegukan.

Wajahnya tampak sembab. Mata memerah akibat menangis. Aishwa jadi kepikiran dengan sekolahnya, dia malu bertemu dengan orang-orang. Dia juga takut kalau Gara akan kembali lagi. Takut terulang kembali.

"Semoga saja ada satu keajaiban yang bisa membawa aku keluar dari penderitaan ini. Sungguh rasanya tidak sanggup."

Lelah dengan pikirannya sendiri. Aishwa kembali merebahkan diri. Menatap langit-langit kamar sekilas, lalu mencoba memejamkan mata sekilas. Semoga saja peri mimpi membawa dirinya berjalan-jalan dalam dunia mimpi.

Kesucian yang ternodaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang