Portal Gaib di Pemandian Air Panas #3

Start from the beginning
                                    

"Orangnya aja udah gak ada," balasku.

Wildan pun menoleh ke tempat wanita tadi berendam. "Loh kok ngilang? Kemana dia?"

"Dah yuk balik aja, laper gw kebanyakan berendem," ucap Hendra.

"Hayu lah, lagian cewe tadinya juga udah gak ada," balas Wildan.

Kami pun ke luar kolam, mengganti baju, lalu berjalan ke luar area pemandian.

"Mir, lu gak ngasih tau tentang cewe tadi ke Wildan?" bisik Hendra.

"Ntar aja di kosan. Kalau sekarang, lu mau dia ninggalin kita di sini," balasku.

"Oh sip-sip."

"Lu berdua lagi ngomongin apa sih?" tanya Wildan.

"Enggak," balasku dan Hendra kompak.

*

Sampailah kita di parkiran, kondisinya masih sama saja. Ramai dengan makhluk-makhluk gaib beraneka ragam dan bentuk.

"Mir, itu kok belum nutup? Bukannya kata lu Ratu dah pulang?" tanya Hendra.

"Oh ... yang di pohon itu gak ada hubungan sama Ratu. Kan wilayah sini tuh pegunungan, jadi masih wajar kalau ada gerbang gaib yang terbuka. Skip aja, gak perlu diliat terus," jelasku.

"Owh ... BTW, Mang Genta kemana nih? Kok gak keliatan?" tanya Hendra.

"Lagi jalan-jalan kali atau pulang duluan. Coba panggil aja, takutnya malah pacaran sama Si Kuning, kasian Wildan," balasku.

"Hah? Apa, Mir? Manggil gw?" tanya Wildan yang sedang membuka pintu mobil.

"Salah denger lu."

Kami pun akhirnya pergi dari tempat pemandian air panas. Tentunya untuk mencari tempat makan yang enak. Makanan kesukaan kami bertiga yaitu Sate Maranggi.

*

"Mir, tadi Ratu ngomong apa aja?" tanya Hendra.

"Dia cuman 'Say Hello' abis itu cerita dikit terus pulang."

"Begitu doang?"

"Huuh."

"Emang cerita apa?" tanya Wildan sambil menyetir mobil.

"Nanti aja deh gw ceritain di kosan. Sekarang konsen dulu, cari tukang Sate Maranggi yang masih buka," balasku.

Ternyata tidak jauh dari tempat pemandian air panas, ada pedagang Sate Maranggi yang masih buka.

"Mir, itu manusia kan?" tanya Hendra.

"Iya, masa Setan," balasku.

"Tau nih, Si Hendra mulai halu," ejek Wildan.

Mobil berhenti tepat di depan warung Sate Maranggi itu. Hanya ada gerobak sate, dengan beberapa meja dan bangku kayu. Setelah memesan 50 tusuk sate, kami pun langsung duduk.

"Gila tukang satenya greget bener," ucap Wildan.

"Kenapa emang?" tanyaku.

"Jualan sendirian, terus sekelilingnya pohon gede-gede plus hutan. Gw sih ogah, serem banget," jelas Wildan.

"Namanya juga usaha, kalau takut ya gak dapet duit," balasku.

Aku melirik ke arah Hendra. Entah kenapa sejak tadi dia menundukan kepala dan komat-kamit tidak jelas.

"Temen lu kenapa tuh, Dan?" Secara tidak langsung aku menyuruh Wildan mengecek Hendra yang duduk di dekatnya.

"Napa lu, Hen?" tanya Wildan.

"Itu ... itu ...," balasnya masih dengan kepala menunduk.

"Itu apa?" tanyaku.

"Di atas pohon, Mir."

Aku menengok ke atas pohon, "Gak ada apa-apa ah."

"Masa lu gak liat sih?"

"Mana sih?"

"Itu." Hendra menunjuk pohon besar yang ada di belakangku.

Oh ... pantas dia sangat ketakutan. Ternyata Si Pocong Merah itu sedang duduk di sana. Matanya yang merah menyala itu terus menyorot ke arah kami.

"Usir, Mir," pinta Hendra.

"Apaan sih? Gw gak liat apa-apa," ucap Wildan.

"Si Pocong Merah, WILDAN BARATA. Itu lagi nangkring di atas pohon belakang Si Amir," balas Hendra dengan suara meninggi.

"Hiiii ... usir, Mir. Ngapain sih tu Pocong ngikutin kita mulu," pinta Wildan.

Aku pun mencoba berkomunikasi dengan sosok menakutkan itu. Bagaimana tidak menakutkan? Selain matanya yang merah menyala, kainnya yang berwarna merah darah, wajahnya pun hanya menyisakan tengkorak berwarna hitam.

BERSAMBUNG

CERITA AMIRWhere stories live. Discover now