"Terima saja. Semuanya sudah terjadi, tidak bisa diulang," kata Rajendra.

Mulut Farhan terkatup rapat. Jemarinya mengepal. Jiwanya terasa terguncang, sedih mendengar berita anak gadisnya dihamili. Dia menatap Aishwa sekilas, merentangkan tangan kepada gadis itu.

Aishwa mendongak menatap sang kakak, tidak mengerti apa maksudnya. Rajendra meraih tangan Aishwa, mengkode agar Aishwa mau mendekati Farhan.

Dengan perasaan was-was disertai takut. Aishwa berjalan menghampiri Farhan. Lalu Farhan mendekap tubuh Aishwa. Tubuh Aishwa menegang, untuk pertama kalinya dia merasakan pelukan dari sang papa.

Air mata jatuh begitu saja. Kenapa pada saat hidupny sudah benar-benar hancur sang papa baru memeluknya? Sungguh hal itu benar-benar tidak adil. Sedih rasanya. Usapan lembut dipunggung seketika berhenti. Aishwa menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

"Katakan siapa yang membuat kamu hamil?" tanya sang papa tanpa ekspresi.

Aishwa tak menjawab. Dia diam saja, seperti ada yang mengganjal dalam kerongkongannya. Farhan mencekal bahu Aishwa dengan kasar, kilatan amarah terpancar dengan jelas di sana.

Dia mendorong pelan tubuh Aishwa, lalu menampar dengan keras. Untung saja Rajendra dengan sigap menopang tubuh Aishwa agar tidak terjatuh lagi di lantai. Pipi Aishwa terasa nyeri dan perih, terlebih di hati. Dia pikir sang papa memeluknya dengan perasaan ikhlas namun nyatanya malah sebaliknya.

"Anak tidak tahu diuntung! Selalu saja mempermalukan keluarga sendiri!" Farhan membentak.

Aishwa mencengkereman kuat lengan Rajendra. Memejamkan mata mendengar semua ucapan Farhan. Dia tidak boleh menangis, apalagi terlihat lemah. Aishwa sanga membenci dirinya sendiri, sungguh.

"Kamu dan Kakakmu sama saja. Sama-sama pembawa sial!"

"Cukup, hentikan!" teriak Rajendra menatap penuh permusuhan ke arah Farhan. Kali ini dia akan membela Aishwa, tidak tega melihat sang adik menderita kembali.

"Apa? Tumben sekali kamu membela anak sialan ini, hah?!"

"Cukup! Hentikan! Kita sudah bersabar dan menghormati Anda—"

"Aku ini Papamu! Berani sekali menyebut Papamu dengan sebutan 'Anda' anak tidak tahu diuntung!"

"Aku ingin dia." Farhan menunjuk Aishwa, lalu kembali menatap Rajendra. "Mengugurkan kandungannya! Tidak sudi aku melihat anak itu lahir!"

Farhan menjauh meninggalkan Rajendra bersama Aishwa. Rajendra menopang tubuh Aishwa, membawa sang adik ke kamarnya. Dia perlu memberitahu kabar buruk itu kepada Gara. Laki-laki itu harus bertanggung jawab.

Sesampai di dalam kamar Aishwa, Rajendra menduduki sang adik di ranjang. Menatap wajah Aishwa dengan iba dan penuh sesal. Menangkup dalam wajah itu, sekilas mirip dengan sang mama. Mengingatnya membuat Rajendra rindu saja.

"A–aku tidak mau menggugurkannya. Ini titipan dari Sang Maha Kuasa. Berdosa jika aku menggugurkannya." Aishwa bermonolog sendiri sembari memegangi perutnya, takut sang jabang bayi digugurkan.

Rajendra menatap penuh iba. "Enggak, lo enggak akan ngegugurin anak itu. Tetapi lo harus nikah sama Gara, dia harus tahu! Jangan egois."

Aishwa menangis. Mendengar nama Gara saja dia sudah takut. Bagaimana hidup bersama laki-laki itu? Aishwa sudah tidak habis pikir dengan jalan pemikiran sang kakak. Tidakkah sang kakak sadar dengan apa yang dia lakukan? Kalau dia kembali diberikan kepada Gara sama saja masuk ke dalam jurang penderitaan.

Lebih baik diam. Mengikuti bagaimana jalan takdir saja. Kalau memang takdir Aishwa bersama Gara, dia ikhlas.

"Gue bakalan ngomong sama dia."

***

Gara tampak tak peduli dengan ucapan sang papa yang menginginkan perubahan kepada dirinya. Menyebalkan jika sudah mendengarnya ditambah dengan perbandingan dirinya dengan sepupu sendiri. Katanya bahwa dia tidak bisa apa-apa, bisanya menyusahkan, sedangkan si sepupu mendapat beasiswa di Jepang. Benar-benar membuat perasaan Gara panas saja.

"Gara kamu dengar enggak sih apa yang Papa katakan?"

"Denger," balas Gara sekena.

"Jangan berbicara pakai urat dengan anakmu, Pa." Wanita paruh baya di samping Gara membela.

Gara hanya mengembuskan napas kasar. Ucapan sang papa ada yang didengar ada yang tidak. Tak memedulikan sama sekali. Lebih baik hidup menjadi diri sendiri daripada menjadi orang lain.

Dering ponsel Gara kembali berbunyi menandakan panggilan masuk. Gara melihat siapa yang menelepon dirinya, alis Gara mengerut melihat nama 'Rajendra' tertera di layar monitor ponselnya.

"Halo? Apa hamil?" Gara terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Rajendra di seberang telepon sana. Baru saja dia ingin menyapa, Rajendra malah menembaknya dengan berita buruk itu.

Panggilan terputus. Rahang Gara mengeras. Dia masih terkejut mendengar kabar buruk itu, baginya itu sangat buruk.

Tidak hanya Gara saja yang terkejut, begitu juga dengan Wiraman dan Gina. Rahang Wiraman mengeras, dia mencengkereman kerah kaos milik Gara. Membuat Gara terbangun dari duduknya.

"Katakan. Anak gadis siapa yang kau hamili?" Wiraman membentak, melepaskan cengkereman tersebut sembari menampar wajah Gara.

Wajah itu tertoleh ke kiri, Gara memegangi pipinya. Sementara Gina, dia terkejut melihatnya. Menghampiri sang suami sambil memeluk lengannya. Takut kalau Wiraman lepas kendali menyakiti Gara.

"Dasar anak tidak tahu diri! Sudah disediakan fasilitas enak. Malah menghamili anak gadis orang!"

Gara tampak menuliskan pendengarannya. Dia berjalan gontai menuju kamar, masih belum percaya dengan kabar yang diterima. Dia juga sudah mengikhlaskan pipinya ditampar oleh sang papa. Kali ini dia tidak ingin berdebat. Menenangkan diri sejenak saja itu sudah cukup.

"Aku merasa gagal mendidik anak kita, Pa," ungkap Gina terduduk lemas di sofa.

Wiraman bergeming. Tatapannya masih menyiratkan emosi tertahan. Selama ini dia hanya memfalitasi Gara dengan barang mewah tidak memerhatikan pertumbuhan anaknya sendiri. Dia terlalu sibuk dengan dunia bisnisnya.

Sementara Gara, dia mengadah langit di atas balkonnya. Angin malam menerpa wajah. Bayangan wajah Aishwa terlintas begitu saja. Benar-benar hari yang buruk.

Lama bergeming dan melamun menimang ucapan Rajendra yang meminta dirinya untuk bertanggung jawab, seringai tipis terbingkai di wajah. Dia mengangguk pelan seperti orang yang sudah menemukan jalan keluar dari masalahnya sendiri.

"Gue tahu apa yang harus gue lakuin."

Tbc:
Jangan lupa beri pendapat^^

See you part selanjutnya.

Kesucian yang ternodaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang