4. KEBAHAGIAAN SEMU

Start from the beginning
                                    

"Ya udah, deh. Maira makan sedikit saja. Udah gitu, habiskan cupcakes buatan Evalia."

Evalia berteriak senang mendengar perkataan Papa. Jujur saja, aku merasa iri atas perlakuan Papa pada Evalia. Aku memang mengambil sedikit nasi, ikan, dan cah kangkung. Bukan karena setuju dengan Evalia, aku memang sedang malas makan. Selera makanku hilang, rasa lapar pun mendadak pergi.

"Cah kangkungnya tambah lagi dong, Mai. Mama Ambar masak sendiri. Rasanya ... emm! Enggak kalah sama yang di rumah makan." Papa memuji masakan Mama Ambar sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.

"Apa sih, Pa? Berlebihan, ah!" Mama Ambar menyenggol pundak Papa dengan pundaknya.

"Papa sering bilang, kan. Buka rumah makan aja. Malah bikin rumah laundry."

"Aku enggak pede, Pa," sahut Mama Ambar.

"Masakan enak begini kok enggak pede. Enak kan, Maira, masakan Mama Ambar?"

Pertanyaan Papa membuatku terkesiap. Jujur saja, masakan Mama Ambar memang enak. Tapi rasa itu seketika membuat mual saat keakraban mereka tersaji di depan mataku. Keakraban mereka ibarat hidangan yang aku benci, tapi sengaja mereka suapkan secara paksa ke mulutku.

"Iya," jawabku singkat.

"Tuh! Itu artinya Maira setuju, kalau Mama bikin rumah makan."

"Kapan yuk, kita cari tempat sekalian jalan-jalan."

"Asik! Jalan-jalan."

"Sudah, makan dulu."

Suara Papa, Mama Ambar, dan Evalia bersahutan mengganggu pendengaran. Segera saja kuberpamitan ke kamar.

"Kok makannya enggak dihabiskan?"

"Mau ke mana?"

Pertanyaan Papa dan Mama Ambar meluncur hampir bersamaan.

"Kepala Maira pusing. Maira istirahat dulu."

"Cupcakes-nya." Evalia mengulurkan dua cupcakes dengan topping warna ungu muda dan kuning.

Dengan malas kuterima juga. Anggap saja pengganti makan malam. Setelah menaruh cupcakes di meja belajar, aku berbaring di atas tempat tidur. Mengenai kepala pusing, kepalaku memang pusing melihat keharmonisan keluarga Papa. Kenapa harus Mama Ambar dan Evalia yang bersama Papa? Kenapa bukan aku dan Mama?

Pandanganku terganggu karena mata yang basah. Belum sehari berada di sini, hatiku sudah sesakit ini. Bagaimana bila selama empat tahun selalu melihat pemandangan yang sangat menyakitkan itu? Tiba-tiba aku merasa goyah, kuingat-ingat saran Eyang Uti yang menyuruhku untuk indekos. Di tengah kegamanganku, ponsel yang kuletakkan di nakas berdering. Ada foto Mama dengan rambut cokelatnya yang tergerai.

Tanpa mengucap halo maupun salam, kumenangis sepuasnya. Seolah-olah Mama berada di depan dan sedang memelukku erat.

"Maira? Sayang? Ada apa?"

Enggak kuhiraukan pertanyaan Mama. Sepertinya mulut ini hanya berfungsi untuk menangis.

"Maira?"

"Oke, menangis sepuasnya. Mama tunggu."

💜💜💜

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

💜💜💜

Bab ini ditulis oleh parter duet mautku, Kak Wulan.
Salut banget sama Kak Wulan yang tetep bisa menyelesaikan bab ini padahal kondisinya lagi nggak fit.

Foto di atas adalah cast Papa (Gunardi). Hot daddy banget kan Ryan Raynold? Terus itu mama Ambar (Jessica Alba).
Gimana, cocok kan papa sama sang penggoda?
😂😂😂😂
Klop banget deh pokoknya 😂😂😂

Yasudah ketemu lagi besok sama aku ya.

BRAINWASH (COMPLETED)Where stories live. Discover now