xxxvi. Memang Sebaiknya Disudahi

42 5 2
                                    

Aku tak tahu siapa yang akan lebih dulu mengetuk pintu. Rasanya canggung sekali ketika kita berdiri diantara sebuah pintu, yang entah siapa akan membukanya terlebih dahulu. Saling menunggu, saling tahu keberadaan masing-masing berada di seberang pintu. Aku hanya berharap ada keajaiban, pintu itu terbuka untuk kemudian menampakkan senyummu yang menyambutku dengan hangat.

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Bayangku terlampau tinggi untuk sebuah harapan yang semu. Dan pintu itu, takkan pernah dibuka oleh siapapun diantara kita. Tidak ada yang bisa memulai. Entah lupa apa arti bersama, entah memang enggan bersama-sama.

Aku mendengar suara langkah kakimu yang kian menjauhi pintu. Aku memang tak tahu apa alasanmu, yang aku tahu pasti hanyalah; mungkin, tujuanmu bukan lagi untuk menemuiku. Maka tertunduklah aku dengan pintu yang masih tertutup rapat, kemudian aku putuskan berhenti untuk tak lagi menginginkanmu.

Kita adalah puisi-puisi tanpa diksi berarti. Kita adalah takdir yang belum semesta restui. Meski kita telah paham bagaimana luka harus disembuhkan. Meski kita mengerti bagaimana cara menjaga hati agar tak patah, agar ia tak kembali merasa disakiti.

Bincang dan rencana yang akhirnya pupus ditelan hari. Tak lagi ada tawa disela waktu sibukmu. Meski aku tahu, pun kau bukan milikku. Aku sadar, pun yang berada dekat denganmu tak hanya aku. Sebab kelak nantinya ketika bersamaku, kau tak menemukan apa itu bahagia. Aku terlalu takut jika kau akan berakhir pada kekecewaan yang sama.

Jika memang hanya sekadar rencana-rencana dan berujung pada wacana semata, maka kupilih melangkah mundur. Biarlah, mungkin memang sebaiknya disudahi.

Dan kini...

Mari saling melupakan genggam,

Mari saling mengubur dendam.

Senandika HatiWhere stories live. Discover now