viii. Mencintai Dalam Diam, Katanya

232 12 0
                                    


Untuk kali ini, aku membiarkan diriku tidak terdengar oleh siapapun. Bahkan ketika aku mendesak nalar untuk segera diutarakan-atau paling tidak dibagikan kepada seseorang, hati selalu menolak untuk melakukannya. Meski logika seharusnya lebih kuat daripada perasaan, meski seharusnya manusia lebih mendengarkan otak daripada hati, maka bagi sebagian orang dalam kondisi dan situasi tertentu hal seperti itu tidaklah berlaku. Dan, urusan mencintai seseorang tanpa perlu diketahui oleh siapapun adalah pilihan setiap masing-masing hati.

Kebenarannya adalah seringkali dibicarakan oleh banyak orang, terlebih mereka yang pernah mengalami hal demikian. Kekhawatiran itu lebih sering muncul. Kecemasan yang serupa terus menghantui. Beberapa pertanyaan juga akan terdengar menyebalkan. Kemudian, perseteruan antara nalar dan nurani terjadi karena pendapat yang saling berkontradiksi. Jatuh hati menyebalkan, memang. Hanya saja, kemudian kembali kepada bagaimana kita akan menanggapinya dan menyimpannya dengan baik.

Ketakutan paling utama adalah harus merelakannya pergi menjauh karena baginya, mungkin, kamu tidak diperbolehkan untuk jatuh padanya. Seolah-olah kamu sudah gugur tentang berharap memilikinya utuh. Padahal setahuku, cinta tidak pernah bisa diterka kapan akan jatuh dan kepada siapa. Karena perasaan yang telah tumbuh itu, pun tidak bisa disalahkan dan sulit untuk dimatikan kembali. Kalau tidak bisa menerima dan membalas dengan jatuh yang sama, paling tidak berilah penjelasan meski berujung hanya sebatas kawan. Dan begitu pula sebaliknya, untuk yang jatuh lebih dulu, ingatlah bahwa kita tidak bisa memaksa orang lain untuk memiliki perasaan yang sama dengan apa yang kita miliki.

Bukankah cinta yang bertepuk sebelah tangan akan terdengar lebih baik daripada keterpaksaan dan kebohongan setelahnya?

Pada dasarnya, manusia selalu mementingkan egonya lebih dulu. Mungkin itulah mengapa sebagian orang tidak peduli pada pendapat orang lain. Ia mengungkapkannya begitu saja, tanpa perlu memikir jangka panjang. Namun, jika kamu tidak berani mengungkapkan karena resiko yang akan terjadi setelahnya, maka jangan berpura-pura terlihat berani dan kuat di depan dirimu sendiri. Jika kamu sudah siap menerima jawaban yang sesungguhnya atau penolakan, maka siapkanlah hatimu karena harus dipatahkan lebih awal.

Nyatanya, kita sebatas manusia yang tidak pernah tahu isi hati seseorang. Kita manusia yang hidup untuk diri kita sendiri. Jadi, selamatkanlah hatimu lebih dulu. Jangan berharap terlalu tinggi-terlebih kepada manusia yang lebih seringnya mengecewakan. Kalau memendam rasanya akan jauh lebih baik, lanjutkanlah. Setidaknya, percayalah bahwa Tuhan selalu mendengar isi hatimu. Jika memang dia yang tebaik untukmu dan kamu yang terbaik untuknya, maka aku yakin Tuhan telah membuatkan skenario terbaiknya untuk diperankan oleh sepasang manusia yang paling sabar menunggu diwaktu yang tepat.

Senandika HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang