xi. Aku Tak Merebut Kekasihmu

115 8 0
                                    

Bagian ini sengaja aku tulis untukmu, yang tidak tahu apa-apa namun dituduh sebagai orang ketiga.

Aku tak merebut kekasihmu, melainkan ia yang datang kepadaku lebih dulu. Aku tak merebut kekasihmu, sebab yang aku tahu—dia datang dengan kesendiriannya, mengatakan bahwa ia cintanya telah dikhianati olehmu. Aku tak merebut kekasihmu, tetapi ia yang memintaku untuk menyembuhkan luka-lukanya karenamu. Aku tak merebut kekasihmu, sebab aku tak tahu apa yang terjadi sebelum kami bertemu.

Aku mengenalnya begitu saja. Tanpa pernah bertanya seperti apa asal-usulnya, bagaimana cerita masa lalunya, atau bahkan sesederhana lagu apa yang sering ia dengar. Tetapi setahuku, ia sudah tak bersamamu. Ia sudah tak bersama kekasihnya yang dulu sejak beberapa bulan yang lalu. Karena katanya, semua berakhir sebab keputusanmu yang sepihak meninggalkan dirinya. Aku sempat khawatir, namun dia terus meyakinkanku untuk tetap bersamanya, untuk menyembuhkan luka yang kau buat, untuk memulai apa yang seharusnya dimulai. Waktu terus berlalu, aku mulai percaya dan selalu berharap semoga perkataannya memang benar demikian.

Aku tak pernah merebut kekasihmu, namun kau menuduhku sebagai seseorang yang hadir dalam hubunganmu sebagai orang ketiga.

Seperti yang kebanyakan orang katakan, bahwa rumah yang sudah dibangun oleh dua orang yang saling mencintai, seharusnya tidak akan dibukakan pintu bagi siapapun yang hendak masuk dalam hubungan itu. Maka, aku kira rumah itu sudah dikosongkan oleh dua pemiliknya. Atau mungkin, salah satunya masih berada di sana untuk menerima tamu yang baru sebagai penggantinya. Aku pikir kau pergi meninggalkannya, sebab dialah yang akhirnya membukakan pintu lebih dulu.

Mungkin, ini memanglah kesalahanku. Kesalahanku yang kurang berhati-hati menjaga hati. Kesalahanku yang mudah memercayai perkataan orang lain. Kesalahanku yang tidak tahu-menahu perihal hubunganmu yang dulu.

Seharusnya dia mengatakan padaku bahwa dia sedang jenuh denganmu. Seharusnya dia mengatakan padaku bahwa dia hanya sedang beristirahat dari cinta lamanya—dia butuh ruang kosong dalam rumah itu bukan untuk dihuni dan digantikan orang lain, melainkan dia butuh bernapas sejenak untuk menerimamu kembali. Dan aku, yang pada akhirnya menyadari bahwa aku hanyalah sebuah pelarian, berusaha menerima kenyataan yang cukup mengejutkan ini.

Dia yang akhirnya lari. Dia yang mengatakan bahwa aku yang mengetuk pintu rumahnya terlebih dulu. Dia yang tidak menjelaskan apapun. Dia yang membela dirinya sendiri dihadapanmu. Dia yang pada akhirnya kembali padamu tanpa memedulikan sedikitpun bagaimana perasaanku. Lantas, betapa bodohnya aku selama ini sampai-sampai ingin ku kutuk diriku sendiri? Dan, mengapa bisa semudah itu kau menyalahkan perasaan yang sempat aku miliki untuknya?

Aku tak pernah merebut kekasihmu, dan seharusnya kau percaya itu. Seharusnya kau tahu itu. Aku masih bisa jatuh cinta kepada seseorang yang menghargai keberadaanku sebagai perempuan yang perlu dijaga hatinya. Aku masih bisa menyayangi seseorang yang sama tulusnya ketika menyayangiku. Aku masih bisa bertahan dan menjadi diriku yang tangguh—menjadikan diriku sendiri sebagai rumah untuk orang-orang yang mendambakan tempat yang teduh. Bukan seseorang yang menjadikanku tempat pelarian hanya karena ia butuh.

Semoga, dihari-hari yang akan datang, kita bisa belajar dari kesalahan yang sama. Menghargai keberadaan seseorang sebelum akhirnya orang itu lantas pergi. Memaafkan karena mungkin orang itu tidak mengerti. Menyadari bahwa selama ini, mungkin, kita memang kurang berhati-hati. 

Senandika HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang