ix. Untukmu, Aku Akhirnya Merelakan

193 15 0
                                    

Seandainya waktu itu aku tidak dipertemukan denganmu oleh semesta yang telah mengatur segala rencana, maka kira-kira apa yang terjadi pada hari ini? Apakah aku akan membiarkan diriku sejatuh ini pada orang yang berbeda denganmu? Apakah aku tetap akan merasa bahagia karena bertemu seseorang yang bukan kamu? Apakah perasaan itu mampu tumbuh dan bertahan sebaik ini? Mungkin tidak. Karena itu, aku pernah begitu bersyukur disetiap harinya hanya karena kehadiranmu di bumi. Iya, sesederhana itu.

Ketika kita sedang menggenggam pasir pantai untuk menyimpannya hingga petang tiba, apakah kita mampu membawa jumlah yang sama jika kita terus berlarian kesana dan kemari? Apakah kita mampu menjaganya untuk tetap utuh? Maka, kupikir begitulah kita yang pernah saling menggenggam harapan yang sama. Meski pada akhirnya kita tidak sanggup menjaga seluruhnya, dan kita tidak pulang pada jalan yang sama, mungkin satu-satunya yang harus dilakukan adalah saling merelakan. Pasir-pasir itu mulai berjatuhan sedikit demi sedikit hingga akhirnya habis dalam perjalanan menuju rumah yang sebenarnya, yaitu tujuan kita.

Manusia akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Katamu, kamu juga seperti itu, begitu pula denganku. Aku yang tadinya dibuat tidak percaya dengan kata-katamu, perlahan-lahan akhirnya mengerti. Mungkin berubah yang kamu maksudkan adalah tujuanmu bukan lagi denganku, sebab ketika bersamaku kamu tidak pernah merasakan bahagia yang seperti dahulu. Mungkin menua bersamaku bukan lagi menjadi impianmu, sebab inginmu bukan lagi perihal kita, melainkan orang lain. Perasaanmu berubah untukku, dan aku harus terima mendengar kejujuran itu.

Dalam perjalanan, terntu tidak semua akan berjalan seperti apa yang kita mau. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya mengubah dirimu sekaligus perasaanmu yang begitu cepat. Tetapi aku percaya bahwa waktu bisa membuktikannya meski terasa begitu lambat. Pada hari ini, aku masih berharap alasanmu berubah bukanlah karena kehadiran seseorang baru yang mampu membuat nyaman hatimu lebih dari yang aku lakukan. Walaupun akan begitu menyakitkan jika aku mendengarnya.

Untuk keputusanmu yang sebenarnya tidak bisa aku terima dengan baik, aku memilih untuk merelakanmu daripada memintamu terus bersamaku. Perasaan yang telah mati, memang sudah seharusnya dikubur saja karena tidak bisa ditumbuhkan kembali. Karena kamu sudah memberanikan diri untuk jujur akan perubahan itu, aku lebih baik-baik saja jika harus disandingkan dengan kepergian bersama alasan yang jelas daripada kepergian tanpa pamit.

Pada akhirnya, kita berhenti pada satu titik bernama perpisahan juga, bukan? Aku masih ingat ketika awalnya kamu mengatakan bahwa kamu begitu benci ditinggalkan oleh seseorang. Kamu juga membenci akan perpisahan yang membawamu pada kesedihan. Kini aku hanya bisa tertawa jika mengingatnya. Entah untuk menertawai nasibku atau bualanmu yang sungguh terdengar seperti lelucon.

Senandika HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang