Kenangan itu terbawa tidur. Mimpi-mimpinya terasa berada di rumah oranh tua dan sekolahnyam. Yang lebih pedih, kala mimpi bertemu Syafira, hanya sekilas.

Yu Kartijem pembantu yang selama ini tak pernah terpikirkan tiba-tiba kembali muncuk dengan semua kebaikannya. Pembantu itu telah mengasuhnya sejak kecil. Ia melayani makan, mencuci, menyetrika, membuatkan minum, dan menggantikan baju ketika masih kelas satu SD. Kang Padiman, tukang kebun yang setia, dan semua anggota keluarga muncul membayang silih berganti.

"Mas Ranu kenapa mesti pergi ? Mbak yakin di manapun kita berada pasti akan menemui masalah. Kepergianmu, hanya menyelesaikan masalah di rumah saja. Di tempat baru nanti, Mas Ranu pasti mengalami masalah baru lagi. Sebab hidup pada dasarnya di tentukan seberapa jauh tingkat kesabaran dan rasa syukur pada Sang Pencipta," pesan Yu Kartijem yang rajin mengikuti pengajian. Sebagai pembantu ia menerima apa adanya, ia ikut orang tuanya dari kecil hingga umurnya setengah baya.

"Kata kata Yu Kartijem memang benar, walaupun tidak pernah mengenyam sekolah, ia pandai berfilsafat," ucap Ranu dalam hati ketika sedang mencuci baju, memasak, dan menyetrika pakaian.

Ketika pertama kali harus masak seorang diri, air matanya tidak dapat di tahan. Selama hidupnya kalau butuh apa-apa Ranu tinggal memanggil Yu Kartijem. Kini tidak ada siapa siapa lagi. Beberapa kali memasak hasilnya slalu mengecewakan kadang masih mentah, gosong, atau terlalu lembek. Apalagi sehari-hari makanannya hanya dengan sayur tanpa lauk, sekalipun hanya goreng telur atau teri. Ranu benar benar bosan. Karna itu, ia lebih sering makan berlaukkan air. Untung sekali waktu ia di panggil Mbah Yai Misbah makan di rumahnya. Saat itulah Ranu benar-benar merasakan namanya makan dan biasanya sambil makan Mbah Misbah banyak memberikan wejangan.

"Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan kegagalanmu masuk Aliah. Kegagalan itu adalah keberhasilan yanh tertunda. Bila orang tidak berani menghadapi kegagalan berarti selamanya tidak akan pernah berhasil," kata Kyai Misbah.

Ranu Sadewa malu. Seakan apa yang dirasakan, sudah di ketahui oleh Kyai. Tapi untuk bangkit kembali bukan suatu hal yang mudah. Terlalu banyak masalah yang harus di selesaikan. Semua terasa membebani juga mendidih otak dan perasaannya. Lebih jengkel lagi saat Komarudin mengancam, salam tiga bulan mendatang ia harus bisa berbicara dengan bahasa Arab.

"Untuk tiga bulan ini, kau boleh menggunakan bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris. Bila tiga bulan mendatang kau belum bisa berbahasa Arab, lebih baik kau cepat angkat kaki dari sini !" ancam Komarudin dengan nada kurang senang, kemudian ia melengos pergi.

"Terimakasih Kang. Insya Allah berusaha semaksimal mungkin," jawan Ranu sedikit tersinggung. Di Jakarya tidak satupun kakak kelasnya berani berbicara semacam itu padanya. "Kenapa marah ? Bukankah ini yang kau cari selama ini ?" keluhnya sadar.

Lebih terpukul lagi ketika mulai masuk sekolah di kelas Diniyah. Dalam kelas satu itu umur siswanya sangat variasi. Ada siswa tamatan SD, SMP dan SMA. Bahkan ada oranh yang sudah agak berusia, tetapi tidak tamat SD. Sebagian besar siswanya lulusan SD yang akan melanjutkan ke MTS. Rata-rata mereka yang masuk kelas belum menguasai pelajaran agama seperti lulusan Ibtida'iyah.

Ranu sangat jengkel dengan anak anak kecil yang hanya memanggil nama saja, seperti teman sebaya. Tidak satupun yang memanggilnya dengan sebutan Kang atau Kak. Lebih mau lagi rata-rata mereka sudah menguasai pelajaran, sedangkan dirinya belum tahu apa apa.

Pulang sekolah ia memutuskan kembali ke Jakarta. Semua uang yang telah dititipkan ke bank di ambil. Malam hari secara diam diam ia mengemasi semua barang. Kardus buku yanh belum sempat di buka juga telah di siapkan. Rencananya, begitu habis jamaah Subuh, ia akan memanggil tukang ojek, kemudian mengucapkan selamat tinggal kepada 'Neraka Pesantren' yang hanya indah jika di bayangkan saja. Perasaan malu dengan orang tuanya tidak lagi di pedulikan.

Sabuk Kyai [SEGERA DI FILMKAN]Where stories live. Discover now