Mama adalah wanita mandiri, cerdas dan pekerja keras. Buktinya, mama tetap bisa bangkit setelah mengalami masa paling sulit di hidupnya. Dia juga berhasil membesarkanku dan memenuhi kebutuhanku. Di usianya yang baru mencapai empat puluh, mama berhasil menduduki kursi Direktur Marketing di perusahaan otomotif terbesar seasia tenggara.

"Halah, berapa, sih, uang dari Papamu?" cibir Mama yang nggak sepenuhnya salah.

Papa memang masih membiayaiku, tapi jumlahnya memang enggak seberapa jika dibandingkan uang mama. Berbeda dengan mama, papa hanya seorang manager keuangan di perusahaan properti lokal.

Aku menunduk mendengar ucapan mama. Aku tahu mama benar, tapi ada sesuatu di dalam diriku yang ingin protes. Entah apa.

"Sudah, deh, enggak perlu ditekuk begitu mukanya. Lebih baik sekarang kamu kasih tahu Papa soal ini," kata Mama lagi dengan santainya.

Aku masih bergeming. Bukannya aku enggak dengar perintah mama. Tubuhku hanya enggan meresponnya.

"Kamu enggak lupa sama rencana kita, kan, Mai?" tanya Mama lagi. Matanya menatapku penuh selidik.

Aku menggeleng pelan. "Kamu masih pengin kita bisa bahagia kayak dulu lagi, kan, Mai?" Lagi, Mama bertanya dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya.

"Masih, Ma," jawabku berusaha meyakinkan mama sekaligus diriku sendiri. "Maira bakal ngehubungi papa dan ngejalanin rencana yang udah kita susun bertahun-tahun, Ma," sambungku lagi.

Mama tersenyum hingga menunjukan deretan gigi putih hasil menghabiskan banyak uang di dental terbaik di Surabaya.

"Bagus. Itu baru anak Mama," ujar Mama.

Setelah menepuk bahuku beberapa kali sambil berbisik, "nanti mama transfer uang jajan tambahanmu." Mama langsung meninggalkan kamarku.

Aku rindu mama yang dulu. Aku pengin banget mama bisa menemaniku bercerita tentang banyak hal seperti dulu. Aku rela menukar apapun demi bisa merasakan kehangatan keluarga yang nggak pernah kurasakan.

Aku menggenggam erat ponsel di tangan kanan. Berkali-kali kukatakan pada diriku bahwa impianku ini akan terwujud selama aku mengikuti semua saran mama. Kuyakinkan diriku bahwa aku pasti bisa mengembalikan kehangatan keluarga ini.

Setelah menarik nafas, kemudian mengembuskannya dan mengulanginya beberapa kali, kukirimkan tangkapan layar pengumuman UGM ke nomor whatsapp Papa. Beda dengan mama yang sering lama membalas pesanku, bahkan bisa sampai berhari-hari, papa justru langsung membalas pesanku.

Papa :
Alhamdulillah. Selamat ya, Sayang.
Papa bangga banget sama kamu.
Terus, rencanamu kedepannya gimana?

Maira Zanitha G :
Makasi, Pa.
Seperti yang pernah Maira bilang, Pa.
Papa keberatan enggak?

Papa :
Ya, enggak dong, Sayang.
Papa malah senang.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku mengakhiri obrolan dengan Papa. Kuletakkan ponsel di atas nakas, kemudian meraih kotak seukuran kerdus sepatu yang sengaja kusembunyikan di bawah ranjang. Aku menaruh kotak berwarna cokelat itu di atas pangkuan, lalu membuka tutupnya. Perlahan, ujung jariku menyentuh permukaan kertas-kertas foto yang mengabadikan momen bahahia ketika aku masih kecil. Jariku berhenti pda salah satu foto. Aku ingat betul kata mama, foto itu diambil saat papa sedang menggendongku di teras rumah. Papa tersenyum ke padaku. Tawanya terlihat lepas seolah aku adalah poros kebahagiaannya.

BRAINWASH (COMPLETED)Where stories live. Discover now