Jangan Kau Menabur Garam di Atas Luka

Start from the beginning
                                    

Aku datangi kamarnya. Dia sedang duduk di meja belajarnya. Tatapan matanya kosong. Sesekali terlihat air mata jatuh dari pipinya.

Tangan kanannya memegang sebuah foto kami bertiga di sebuah danau. Aku sama sekali tidak mengingat momen itu.

Aku mendekat, memeluknya dari belakang.

"Kaka yang kuat ya," bisikku, berharap dia dapat mendengarkan suara lirihku ini.

Adikku memanggil Rayhan untuk ke ruang tamu, aku pun mengikutinya dari belakang. Ragaku sudah diangkat, dipindahkan ke dalam keranda.

Beberapa orang mulai mengangkat kerandanya, ke luar rumah. Rayhan pun ikut mengiringi kepergianku menuju tempat peristirahatan terakhir.

Aku tetap berdiri di ruang tamu. Lalu pergi ke kamarku menemani Abdul yang masih menangis. Berbaring di sampingnya, mengelus-elus rambutnya dan berusaha mengusap air matanya.

Ibu!
Ibu!

Dalam tangisnya, Abdul terus memanggilku. Aku terus menemaninya, sampai dia tertidur.

*

Tiba-tiba, kepalaku terasa sangat sakit. Rasa sakit itu kini berubah menjadi perih. Tak kuat, aku pun menjerit kesakitan.

Sebuah bayangan muncul. Sekelompok pemuda sedang menaburkan serbuk berwana putih (garam) di atas noda darah yang masih tersisa di jalan. Mataku memerah, melihat perbuatan mereka.

Apa salahku sampai mereka menyiksaku seperti ini?

Kuperhatikan wajah mereka baik-baik. Besok malamnya kudatangi mereka satu persatu-satu.

Salah satu dari mereka lari tunggang-langgang, ketika melihat kehadiranku di dalam kamarnya. Yang lainnya, sampai jatuh pingsan ketika aku muncul di hadapannya. Aku menampakan diri dengan wajah yang paling menyeramkan, dengan baju berlumuran darah.

Setiap malam, aku menangis di depan rumah mereka, meminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

Bukannya menyesal dan meminta maaf, mereka malah memanggil seorang kakek tua berbaju hitam, untuk mengusirku dari lingkungan mereka.

Bodoh, mereka kira itu berhasil. Setelah kakek tua itu pergi, aku datangi salah satu dari mereka. Kududuki dia ketika tidur, hingga kesulitan bernafas. Lalu kubanting pintu kamarnya, sampai dia terkencing-kencing di balik selimut. Lalu, tertawa di dekat telinganya. Rasanya puas sekali.

Amarahku memuncak, ketika mereka memanggil seseorang berbaju putih. Bukannya menolongku, orang itu malah menambah rasa sakitku. Badanku terasa sangat panas dengan doa-doa yang dia ucapkan.

Setelah malam itu, dendamku semakin membara. Kali ini tidak hanya pada pelaku yang menaburkan garam, tapi semua warga di kampung ini terkena imbasnya.

Tengah malam, kuketuk pintu rumah mereka satu persatu. Kadang aku hanya berdiri di dekat jendela kamar yang terbuka, atau hanya duduk diam di meja makan. Itu saja sudah membuat mereka menjerit ketakutan.

Rasa takut mereka itu membuatku semakin kuat. Kini aku bisa melempar perabotan dapur mereka. Aku juga bisa mendorong mereka hingga jatuh tersungkur.

Orang-orang yang melewati tempat kecelakaan pun tidak luput dari terorku. Aku sering berdiri dan menangis di sana, sehingga membuat orang-orang takut melewati jalan itu.

Sampai aku bertemu kamu ....

*

Kamu tidak sengaja melihatku yang sedang berdiri di tengah jalan. Saat melihatku, wajahmu terlihat kaget, tapi tetap berlalu melewatiku.

Aku ikuti sampai ke rumahmu, tapi tidak dapat masuk ke dalamnya. Kutunggu kamu di luar rumah, sambil terus menangis dan meminta tolong.

Kamu pun akhirnya ke luar rumah dan mencoba mengusirku. Namun, aku tidak pergi kemana-mana, sampai kamu mau menolongku atau sekedar mendengar keluh kesahku.

Kamu pun menyerah, lalu mengizinkanku masuk ke kamar. Pada saat itulah aku menceritakan semua cerita ini, berharap kamu bisa menolongku. Kamu meminta waktu beberapa hari, untuk memberi keputusan terakhir.

Ketika aku sedang duduk, menangis di tempat kecelakaanku. Tiba-tiba, kamu memanggilku ke rumahmu. Aku lihat di sampingmu sudah ada seorang kakek berbaju putih, membawa tongkat bercahaya.

Kakek tua itu tersenyum melihatku, "Saya bisa menyembuhkan lukamu, tapi dengan satu syarat," ucap Kakek itu.

"Apa syaratnya Kek?" tanyaku.

"Berhentilah menakut-nakuti warga."

"Mereka sudah jahat, Kek. Apa salahku sampai mereka berbuat seperti ini."

"Kamu harus memaafkan mereka."

"Lalu bagaimana dengan orang yang menabrakku."

"Apakah kamu tau atau ingat dengannya?"

"Tidak ... justru itu membuatku semakin tersiksa, karena ada rasa dendam yang tak tuntas."

"Dia sudah mati, beberapa hari setelah kecelakaan itu. Itulah sebabnya kamu tidak akan pernah bisa menemuinya."

"Sekarang ... aku harus bagaimana, luka ini masih terasa sangat perih. Aku sudah tak kuat."

"Jika masih ada dendam kamu akan tetap seperti itu. Lebih baik ikut ke tempat saya, sampai bisa memaafkan perbuatan mereka."

Aku pun mengangguk, menyetujui persyaratannya. Kakek itu berjalan mendekat, mengusap luka-lukaku. Tangannya hangat sekali. Perlahan-lahan, rasa sakit dan perih itu pun menghilang.

Sebelum diajak pergi ke tempatnya, aku meminta izin untuk menemui anak-anakku untuk terakhir kalinya.

Setelah itu, Kakek itu memindahkanku ke sebuah taman yang indah. Aku hanya duduk di bangku taman itu,menunggu waktunya tiba. Waktu di mana aku bisa berkumpul dengan anak-anakku.

Pesanku.

"Dibalik teror yang mengerikan, pasti ada yang tersakiti. Hanya kamu saja yang tidak menyadarinya."

SEKIAN

CERITA AMIRWhere stories live. Discover now