Jangan Kau Menabur Garam di Atas Luka

Start from the beginning
                                    

"Iya Mas," sahutku sambil menyebrang jalan.

Ketika aku menyebrang, tiba-tiba ada motor yang melaju sangat kencang.

"Mbak, awas!" Terdengar suara teriakan seseorang memperingkatkanku.

Sayang, semuanya sudah terlambat. Tubuh mungilku sudah melayang, hingga mendarat di aspal jalan.

Aku tergeletak, bersimbah darah. Tubuhku seakan remuk. Kepala pun terasa sakit sekali.

Aku mencoba menggerakan tubuh, tapi tidak bisa. Kaki mulai terasa dingin. Sayup- sayup terdengar seseorang memanggil namaku. Namun, rasa dingin ini terus menjalar ke seluruh tubuh. Aku mulai kesulitan bernafas. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap gulita.

*

Ada cahaya terang menyorot kedua mata. Aku membuka mata, tidak ingat apa yang terjadi. Tersadar, posisiku sudah berdiri di pinggir jalan. Terihat kerumuman orang sedang mengelilingi sesuatu.

Aku berjalan mendekat. Kulihat tubuh seseorang tegeletak dan ditutupi koran. Mencoba bertanya pada orang-orang, siapa yang tertabrak, tapi tidak ada jawaban.

Kulihat sebuah sepeda motor setengah rusak, terparkir di pinggir jalan. Di dekatnya ada seorang pria yang terbaring di trotoar.

Kulihat sekelilingnya, banyak sayuran tercecer di tengah jalan, serta tumpahan sambal kacang.

Bukannya itu daganganku?

Mobil ambulan pun datang, mengangkat tubuh orang itu. Tak sengaja koran yang menutupi wajahnya terbang teriup angin.

Itu aku!

Ya ... itu aku.

Apakah aku sudah mati?

Aku sangat terkejut, tidak bisa menerima semua ini. Rasanya lemas sekali, air mata mengalir. Lalu terduduk lesu, menangisi nasib yang malang ini. Ada rasa marah dan dendam yang tumbuh di diriku.

Aku lihat orang-orang sedang membersihkan noda darah di jalan. Menyiramnya dengan air dan menaburinya dengan tanah.

Sekarang, sekujur tubuhku mulai terasa sakit. Darah pun mengalir dari kepalaku, membahasi sebagian wajahku. Bahkan sudah mati pun, rasa sakit ini masih belum juga hilang.

Aku berusaha sekuat tenaga, mendirikan badanku. Berjalan pulang menuju rumah. Darah yang terus menetes, membasahi setiap langkahku, sampai di depan rumah. Kulihat kursi-kursi plastik berjejer, sebagiannya sudah diduduki oleh para tetangga.

Aku berjalan, masuk ke dalam rumah, melihat ragaku sudah dibaringkan di ruang tamu, lengkap dengan kain putih yang menutupinya. Kulihat sekeliling, tapi tidak bisa menemukan keberadaan anakku.

Kemana mereka pergi?

Apa mereka masih di sekolah?

Di antara suara orang-orang yang sedang membaca doa, aku mendengar suara tangis anakku. Kudatangi sumber suara itu, yang ternyata berasal dari dalam kamar.

Abdul sedang menangis, memeluk guling di tempat tidur. Di sampingnya ada adik kandungku, berusaha menenangkannya.

Ke mana Rayhan?

CERITA AMIRWhere stories live. Discover now