7- Pelajaran Pertama

12 4 3
                                    




SEDARI IA bangkit dari tidur, Pavel merasa seakan tengah kesadarannya mengambang di atas tubuh fisiknya selagi ia berjalan mondar-mandir di sekitar kamar, mata masih setengah terpejam.

Kedengaran dramatis? Oh memang.

Bersih-bersih diri di kamar mandi, mengganti pakaian, membuka jendela kamar agar udara segar masuk dan mengusir apek, semuanya terjadi tanpa ia benar-benar memikirkan apa yang sedang ia lakukan. Padahal kalau mengikuti keinginan terdalamnya, Pavel ingin kembali merayap ke dalam dekapan selimut dan tidur hingga hari berganti.

Tapi ini adalah hari pertamanya mengikuti pengajaran di Perguruan, dan ia takut akan mendapat masalah kalau lebih memilih untuk bolos.

Diusir dari Suaka, misalnya.

Ketika ia merasa sudah siap meninggalkan kamar, Pavel menangkap bayangannya menatap balik dari cermin yang menempel di pintu lemari. Setelah menimbang sedetik, ia beranjak mendekat dan menginspeksi penampilannya.

Ujung-ujung rambut ikalnya kini telah mencapai tengkuk. Berbulan-bulan terjebak di dalam Bungker Jahannam tanpa fasilitas pangkas rambut tentu saja memberikan rambutnya kebebasan untuk tumbuh liar dan tak terkendali.
           
Kalau dilihat-lihat lagi, sebenarnya ia kelihatan oke juga.
           
Beralih dari rambut, Pavel memindahkan perhatian ke hidungnya yang bulat dan rahangnya yang telah tercukur bersih. Kemudian berpindah lagi ke seragam Perguruan yang ia temukan di lemari, nyaman dan pas badan.
           
Alih-alih seragam putih-biru seperti yang ia pakai terakhir kali mengenyam pendidikan formal, seragam Perguruan terdiri atas satu set celana panjang dan atasan berwarna hitam beserta sepasang sepatu lari, juga hitam. Di sabuk senjata yang melingkari pinggangnya, terselip belati berganggang merah oleh-oleh dari Danau Ara.
           
Suram, tapi berkelas. Dua hal yang tidak pernah Pavel pikir bisa bersatu padu dengan dirinya.
           
Dengan satu tolehan terakhir ke cermin, Pavel melangkah keluar dan menutup pintu kamar. Ketika ia membalikkan badan, seseorang lain keluar dari kamar diseberangnya dan tatapan mereka bertabrakan.
           
Pavel nyaris saja melompat kembali ke dalam kamar, tetapi akal sehat menahannya agar tidak mempermalukan diri (lagi). Ia bisa merasakan detak jantungnya mulai memburu, mengancam akan meloncat keluar dari dalam tulang rusuk.
           
Berbalut seragam Perguruan dan jaket kulit cokelat, berdirilah Serena, bahkan tampak lebih terguncang dibandingkan Pavel.
           
Ekspresi yang sama seperti yang ia tunjukkan di Bungker Catur dua hari lalu. Juga kemarin, ketika Pavel memergoki dia basah kuyup di pinggir Danau Ara.
           
Ah, senang mengetahui mereka sekarang punya rutinitas bersama. Kejutan.
           
Setelah keheningan yang tidak nyaman, Serena pulih terlebih dahulu. Berkacak pinggang, ia segera saja menodong Pavel dengan tatapan menuduh. "Kau ini benar-benar membuntutiku, ya?"
           
Meraih kembali kendali atas dirinya, Pavel meniru gestur tubuh Serena dan membalas. "Pede sekali, nyonya."
           
Mendengar jawaban Pavel, ekspresi Serena dengan cepat berubah dari curiga menjadi sangat, sangat kesal.
           
"Kemarin kau mengikutiku ke tempat pribadiku, lalu sekarang kebetulan kamu bertetangga denganku? Oke, Pak Penguntit, logikanya dapat sekali."
           
Pavel melempar kedua tangannya ke atas. "Aku tidak menguntitmu! Sumpah! Aku langsung di antar ke kamar ini saat baru sampai, mana aku tahu kamarmu pas di depan sana! Dan sejak kapan Danau Ara jadi tempat pribadimu?"
           
Serena memelototinya, tetapi tidak kunjung mencetuskan balasan. Cahaya dari lampu di sepanjang langit-langit lorong terpantul di mata bundarnya.
           
Terlepas dari ketegangan di udara, Pavel mendapati dirinya terpesona.
           
Dia tidak pintar merangkai kata, satu lagi bakat Ayah yang tidak menurun kepadanya, tetapi mendadak Pavel ingin menuliskan berlembar-lembar puisi untuk menceritakan mata biru cerah itu. Kepalanya dipenuhi kata dan frasa.
           
Binar. Gemerlap. Dua tetes embun fajar. Langit pagi dikala matahari telah sepenuhnya menanjak.
           
"Siapa yang mengantarmu ke kamar ini?"
           
Buyar sudah rancangan puisinya.
           
Pavel berhenti untuk mengingat. "Eh, Hafi- bukan. Hadi?"
           
"Hadi," Serena menyebutkan nama itu dengan kebulatan tekad. "Aku butuh bicara dengan dia sekarang."
           
Bahkan sebelum menyelesaikan kalimatnya, Serena telah melangkah cepat menyusuri koridor yang berlawanan arah dengan yang akan dituju Pavel. Sebelum     Pavel bisa berkomentar apa pun, Serena telah menaiki tangga di ujung lorong dan menghilang dari pandangan.
           
Berusaha menetralkan detak jantung yang masih menderu, Pavel menyandarkan tubuh ke dinding lorong. Sebuah pemahaman telah berhasil ia cerna, dan Pavel mendapati dirinya sendiri menyeringai pada langit-langit asrama.
           
Gadis yang berhasil mencuri perhatiannya sejak momen pertama ternyata tinggal tepat di seberang koridor. Gadis yang, tidak diragukan lagi, tidak menyukai keberadaannya. Kemungkinan besar menganggapnya idiot.
           
Hidup memang tidak pernah membosankan.
           
Astaga, dia kedengaran seperti orang sinting.
           
Dan barangkali kelihatan seperti orang sinting pula. Pavel mengedarkan pandang ke sekeliling koridor asrama, memastikan tidak ada seorang pun yang menyaksikan ia senyum-senyum sendiri, sebelum akhirnya beranjak meninggalkan asrama dan menuju Perguruan.
           
Mengingat kembali rute yang ditunjukkan Freya di tur kemarin, Pavel berhasil mencapai kompleks pelatihan dan segera saja menemukan dirinya berdiri di depan gedung utama Perguruan. Sebelumnya, ia tidak memberikan gedung 'sekolah' ini perhatian lebih. Baru saat inilah Pavel menyadari bahwa bangunan di hadapannya ini sangat, sangat megah. Memang eksteriornya tidak sementereng gedung asrama ataupun Rumah Utama, tapi jelas jauh lebih mewah dibandingkan sekolah negeri mana pun yang bisa Pavel temukan di Bukit Tangkuban.
           
Pilar-pilar tinggi, cat merah bata yang mulus dan tidak retak-retak, lantai marmer mengkilap. Bangunan-bangunan di Suaka benar-benar bukan main. Pavel mulai berspekulasi kalau jangan-jangan orang yang pertama kali membangun Suaka diam-diam adalah seorang bangsawan dengan kekayaan tak terbatas dan-
           
"Pavel!"
           
Imajinasinya terputus. Pavel membalikkan badan, mencari sumber suara. Ia menemukan Freya tengah berlari kecil melintasi lapangan pelatihan, rambut pendeknya kini diikat tinggi.
           
"Syukurlah kamu tepat waktu. Jujur saja aku takut kamu tidak bisa bangun sepagi ini," ujarnya begitu ia sampai di sisi Pavel. Kedua tangannya dengan otomatis bergerak mengencangkan ikat rambutnya.
           
"Senang mengetahui aku melebihi ekspektasimu," Pavel mengedipkan sebelah mata.
          
Freya memperhatikannya dalam diam dengan begitu lama sampai-sampai Pavel mendadak salah tingkah. Saat ia baru akan menanyakan apakah ada yang salah, Freya meledak dalam tawa.
           
"Oh, sudah berani genit ya?" Binar-binar geli menari pada kedua bola matanya.
           
Merasakan ketegangan perlahan memudar dari postur tubuhnya, Pavel membalas celetukan Freya dengan senyum miring andalannya. Setidaknya, kata Ibu, pesona Pavel bergantung pada satu senyuman itu.
           
Masih dengan sisa-sisa tawa, Freya memandu Pavel menaiki tangga kecil di depan gedung Perguruan. Mereka bergerak melewati pintu depan, yang barangkali tingginya setara dengan dua kali badan Pavel, kemudian terus melalui lobi utama. Mereka melewati lorong-lorong yang diselingi beberapa anak berpakaian serupa dengan Pavel, dan dia sedikit terkejut melihat keberagaman usia yang ada. Mulai dari anak sekecil 7 atau 8 tahun hingga remaja seusia Pavel, semua tampak membaur dan sibuk dengan kegiatan masing-masing.
           
Tampaknya Freya cukup dikenal, melihat nyaris setiap orang yang berpapasan dengan mereka menyapa gadis itu, entah dengan senyuman ramah atau dengan pekikan riang.
           
"Jadi, bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?"
           
Perhatian Pavel yang semula tertuju pada ukiran batu di langit-langit lorong pun kembali kepada Freya.
           
"Tidak pernah senyenyak semalam," dan itu bukan jawaban asal. Setelah berbulan-bulan, akhirnya Pavel bisa kembali merasakan nikmatnya tidur tanpa dihantui mimpi-mimpi tidak masuk akal. Malahan, untuk pertama kali seumur hidupnya, Pavel tidak memimpikan apa-apa.
           
"Baguslah," Freya tersenyum kecil. Setelah beberapa langkah, ia bertanya. "Kamu rindu rumah lamamu tidak sih?"
           
Pavel tidak siap dengan pertanyaan acak itu.
          
Melihat perubahan ekspresi Pavel, Freya cepat-cepat menambahkan, "Aku tidak punya banyak teman yang besar di luar Suaka, jadi yah, aku penasaran," ia buru-buru menambahkan. "Aku tidak bermaksud lancang."
           
Ia bisa melihat rona merah mulai menyebar di wajah Freya. Gadis itu tampak agak menyesali pertanyaan asal ceplosnya.
           
Setelah berpikir sejenak, Pavel menjawab, "Kalau harus jujur sih, aku kangen sekali," dia mengangkat bahunya. "Tapi aku sudah terbiasa, jadi tidak apa-apa."
           
Freya tidak membalas lagi, dan karena itu Pavel balik bertanya.
           
"Kamu sendiri? Besar disini?"
           
Gadis itu mengangguk, dan ekor rambutnya ikut berayun seiring pergerakannya. "Lahir dan besar disini. Percaya tidak percaya, aku belum pernah keluar dari Suaka sekali pun."
           
"Sama sekali? Seumur hidup?"
           
"Seumur hidup," Freya mengangguk.
           
Pavel baru akan berkomentar mengenai betapa menyedihkannya hal itu sebelum ia teringat bahwa sebelum kejadian di pasar yang mengantarkannya ke Bungker Catur, ia juga belum pernah menginjakkan kaki di luar Bukit Tangkuban. Aneh juga memikirkan kejadian naas itu ternyata merupakan tiketnya melihat dunia luar.
           
Setelah sedikit basa-basi lanjutan, Freya kembali ke mode pemandu wisata.
           
"Seperti yang sudah aku jelaskan kemarin, lama pembelajaran masing-masing individu di Perguruan bervariasi. Rata-rata murid Perguruan merupakan anak yang memang lahir dan tumbuh besar di Suaka, sepertiku, dan kami memulai pembelajaran di usia 7 tahun. Kami menjalani sistem 12 tahun pendidikan, seperti di sekolah lain pada umumnya. Nah, anak-anak sepertimu itu jarang. Kami kedatangan anak 'Baru'," Freya membuat isyarat tanda kutip di udara. "hanya sekali atau dua kali dalam beberapa tahun. Tahun ini, kamu yang pertama."
           
Pavel menepukkan kedua tangannya sekali dan menyorakkan, "Yey."
           
Menahan tawa, Freya melanjutkan, "Pada 2 tahun terakhir masa pendidikan, setiap murid akan berganti julukan menjadi 'murid pelatihan' dan akan diharuskan memilih Penjurusan. Jurusan-jurusan ini akan berpengaruh pada divisi mana nantinya kamu direkrut setelah lulus dari Perguruan. Kamu seharusnya sudah bisa memilih jurusan beberapa minggu dari sekarang, secara usiamu sudah lebih dari cukup."
           
Sama seperti kemarin, kepala Pavel terasa berputar akibat banyaknya informasi asing yang masuk dalam jangka waktu singkat.
           
Murid pelatihan? Penjurusan? Perekrutan divisi? Ujian hidup macam apa lagi ini, Tuhan?
           
Mereka berhenti di depan salah satu pintu di lantai ketiga. Pada bagian atas pintu, tertempel sebuah papan yang menunjukkan angka 318. Ketika Freya membukanya lebar, Pavel bisa melihat bahwa ini adalah ruang kelas. Lagi-lagi, jauh lebih mewah dibandingkan ruang kelasnya dulu di SMPN 18 Bukit Tangkuban (maaf, Pavel tidak tahan untuk tidak sebut merek), dengan kursi dan meja individu dan dinding krem mulus tanpa coretan dan jendela-jendela besar tak bertirai dan proyektor LCD yang menggantung dari langit-langit. Terdapat sebuah panggung kecil di bagian depan kelas, dimana sebuah meja kayu besar bersanding dengan kursi empuk beroda, sebuah papan tulis besar terpampang di dinding beberapa langkah dari meja. Kemudian, tampak lebih tinggi dibandingkan hari sebelumnya berkat bantuan panggung kecil itu, berdirilah Dokter Firman.
           
Selain urusan tinggi badan, pria itu tampak tiada beda dari yang terakhir Pavel ingat. Rambut beruban, jas putih selutut, kacamata tipis. Kali ini, Ai tidak bersamanya. Ia tengah sibuk memenuhi papan tulis dengan coretan dan tulisan, dan Pavel tidak bisa menangkap satu kata pun.
           
Memang benar kata orang. Mereka yang terlalu pintar dikutuk dengan tulisan tangan kacau balau.
           
"Terima kasih lagi, Freya, karena sudah mengantar teman baru kita kemari dengan selamat untuk kedua kalinya. Kamu boleh pergi," ujar Firman bahkan tanpa membalikkan badan.
           
Alih-alih langsung pergi seperti kemarin, Ava malah menahan lengan Pavel dan mendekatkan wajahnya. Pavel terlalu kaget untuk bisa bereaksi.
           
"Nanti di jam makan siang, mau ikut aku ke restoran di Kota Baru? Sate kacangnya favoritku," bisik Freya.
           
Freya tidak melepaskan genggamannya di lengan Pavel sampai akhirnya pemuda itu mengangguk. Dengan senyum lebar, si gadis membalikkan badan dan mengucapkan, "Sampai nanti!" sebelum menutup pintu di belakangnya.
           
Atas nama semua bintang, Pavel tidak mau menjadi bagian dari golongan remaja kepedean dan berpikiran kalau Freya baru saja mengajaknya kencan, tapi memangnya apa lagi kalau bukan kencan?

Sesudah Hujan RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang