0

89 10 3
                                    




Suaka, Agustus 151 EB

Theo biasanya menyukai giliran patroli malam. tapi sepertinya kali ini menjadi pengecualian. Padahal malam ini langit cerah dan udara hangat. Belum lagi suara gemerisik pepohonan yang menenangkan, sangat cocok untuk merenung dan menyendiri setelah seharian penuh berlatih dan melatih. Theo jadi agak-agak menyesal menerima tawaran sebagai tutor, yang awalnya dia kira keren, karena selama sebulan penuh ini fisik dan psikisnya menjerit-jerit minta istirahat. Siapa sangka mahluk-mahluk kecil yang mereka sebut anak-anak itu merepotkannya luar biasa.

Yah, bukan berarti Theo sudah bisa disebut sebagai dewasa juga.

Belum lagi, semenjak seminggu lalu mulai diberlakukan kebijakan agar para murid pelatihan diberi giliran untuk ikut patroli malam. Pada masa Theo dulu, kebijakan itu belum ada. Sebagai imbasnya, malam ini Theo terpaksa melepaskan kesempatannya menyendiri dengan mengawasi dua murid pelatihan yang menemaninya patroli di batas hutan. Batas ini sebenarnya perbatasan Suaka yang paling rawan, mengingat ini adalah garis terdepan Suaka. Hutan telah menjadi sangat lebat dan kemungkinan besar hewan-hewan liar mulai bermukim di dalamnya.

Tapi pepohonan dan semak selalu memberikan efek yang berbeda bagi Theo. Sebagai seorang Penghijau, ia bisa merasakan kehidupan pada tiap-tiap tumbuhan di sekitarnya. Mereka seakan bergerak selaras dengan tiap tarikan napasnya, bergetar seiring dengan degup detak jantungnya. Berada sedekat ini dengan tetumbuhan memberikan ketenangan yang tidak bisa didapatkannya dimanapun juga.

"Kau lihat tadi si Gurna nyaris membakar habis Ai?" bisik Axel, salah satu murid pelatihan yang ikut patroli, kepada Ava, gadis mungil dengan rambut diikat ekor kuda.

"Iya. Itu seram sekali, kukira Ai tidak akan selamat," balas Ava. Gadis itu meringkuk sambil memeluk busur panahnya erat-erat. Axel sendiri menyiagakan tombak pendeknya di sisi badan, berhati-hati agar ujung tombak tidak menggores kulit.

Dua anak itu terhitung masih sangat muda, bahkan untuk ukuran murid pelatihan. Axel mungkin baru berusia sekitar 13, dan seingat Theo, Ava beberapa tahun lebih muda.

Theo ingat saat pertama kali dua anak itu direkrut. Saat itu, satu tahun yang lalu, Theo dan empat orang lainnya diutus untuk menyabotase rombongan pikap berisi kebutuhan pokok dan senjata yang dijadwalkan akan melintasi jalan raya beberapa kilometer dari hutan. Siapa sangka, ternyata di dalam salah satu kendaraan itu juga terdapat beberapa anak mutan yang akan diantarkan ke Bungker Karantina terdekat. Mereka akhirnya meninggalkan 15 orang penjaga dalam keadaan pingsan serta amnesia dan membawa pulang 3 kendaraan, limpahan sumber daya, dan lima orang anggota baru penuh bakat. Tidak ada korban nyawa.

Rasa bangga mengaliri pembuluh darah Theo saat mengenang saat itu. Pencapaian itu juga yang akhirnya menaikkan reputasinya di Suaka dan membuatnya mendapatkan tawaran sebagai tutor.

Pandangannya kembali beralih kepada dua murid pelatihan tanggung jawabnya malam ini. Mereka berdua duduk berdampingan beberapa langkah di depan Theo, terlindung semak-semak.

Batas nyata yang memisahkan hutan dengan Suaka sebenarnya adalah sebuah pohon besar yang menjulang beberapa meter dari tempat mereka berjaga. Menurut cerita, pohon itu sudah ada disana semenjak Suaka pertama kali dibangun. Pada pohon itu ilusi dibangun oleh para mutan terdahulu, melindungi Suaka dari pandangan manusia biasa dan menjaganya tetap aman. Beberapa langkah setelah pohon itu barulah terhampar semak-semak yang memanjang dari tebing tinggi hingga Danau Ara, ditumbuhkan oleh para Penghijau untuk menjadi pos jaga saat patroli.

"Tapi Gurna memang selalu berlebihan. Jelas-jelas Ai sudah menyerah dan tetap saja dia menyerang, dasar bocah tukang pamer," geruru Axel sembari mengorek tanah di bawah kakinya.

Sesudah Hujan RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang