Emosi

3K 706 175
                                    

Ya, kami tetap main UNO.

Berdua.

Di kamarku.

Sebenarnya aku agak was-was juga, berdua di kamar bersama seorang lelaki. Aku sudah diperingati untuk tidak terlalu dekat juga (meski aku sudah cukup kenal dengan kak Atsumu, tapi kita tidak tahu 'kan?).

"Nih, tambah 4 kartu lagi!" ujarnya seraya mengeluarkan kartu hitam dengan isi kartu warna merah, kuning, biru dan hijau disana dan angka +4 di pojok kiri atas dan kanan bawah. Aku melihat kartu yang berada di tanganku, sangat bertumpuk dan kuperkirakan aku akan kalah lagi. Aku mendengkus, menaruh kartu milikku di atas di lantai.

"Tau ah aku ngambek."

"Jangan ngambek dong~ Aku udah ngalah loh ini."

"Kak Atsumu menang mulu loh daritadi. Sengaja ya biar mukaku bisa dicoret-coret?"

Kami membuat peraturan, kalau kalah mukanya dicoret pakai spidol papan tulis (yang gak permanen tentunya) dan mukaku sudah penuh dengan coretan spidol. Beda dengan kak Atsumu yang hanya mendapat coretan di dahi (seperti simba) dan pipi (kayak kucing).

"Hehe, mukamu udah kayak aspal di depan kampus."

Aku mendecak, menarik jaket yang dikenakan oleh sang lelaki--menyeretnya keluar. "Keluar sana! Lama-lama bisa banyak setan ngumpul gara-gara kita."

"Ehh, gak mau! Nanti kalau aku diciduk Suna gimana?"

"Itu urusan kakak, kenapa juga aku harus ikut campur hah?"

"Ih, mbak kalau marah serem deh. Kalah-kalah mas Kita."

"Kakak mau jalan ke luar sendiri atau diseret?"

"Seret nih, coba."

Kak Atsumu berbalik, meluruskan kakinya membuat perempatan muncul di dahiku. Aku menarik kakinya yang tentu saja tak ada tenaga sama sekali, bahkan lelaki itu tidak bergerak ketika kutarik. Kuhempaskan kakinya di lantai, membuat aduhan terdengar darinya. Aku pun membuka pintu kamar, membiarkan mas Suna masuk dan menyeret si pirang itu yang terkejut.

"Loh loh, kok bisa ada Suna?!"

"Aku tadi SENGAJA ngasi tahu, gegara kak Atsumu menang main UNO mulu," jawabku dengan menekankan dan menaikkan nada suara pada kata "sengaja".

"Jahat banget, mbaaak."

Mas Suna mendecih, menarik kerah hoodie kak Atsumu dan menyeretnya keluar kamar. Aku melambai padanya, mengejeknya karena telah tertangkap basah.

Ah, beruntung aku tidak dimarahi mas Kita karena aku menjelaskan kronologis ceritanya. Aku juga sempat minta maaf kok gegara ngebiarin kak Atsumu masuk ke kamarku, tapi kata mas Kita dia maafin dan bilang ke aku untuk enggak ngulangin lagi.

TAPI, ada satu masalah yang benar-benar menguji harga diri dan egoku.

Ternyata spidol yang dipakai untuk mencoret muka aku dan kak Atsumu adalah spidol permanen. Itu spidol dari kak Atsumu, aku juga percaya aja dan gak ngecek lagi. Rasanya mau nangis, soalnya ini gak ilang-ilang.

"Loh, mbak. Itu mukanya kenapa?" Mas Akagi bertanya. Kebetulan aku sedang di luar kamar, menunggu bagaimana kak Atsumu yang lagi diceramahin sama mas Kita, eh malah lewat orang di depanku. "Kayak patung di depan kampus kita tuh, ditambah jubah aja terus jadi deh pahlawan penyelamat kampus hoho!"

"Kak Atsumu yang buat, mas." Aku mengeluh. "Mana permanen lagi, gak bisa hilang."

"Pake itu, tiner gak bisa ya?"

"Hiks, mukaku 'kan bukan lantai yang habis kena cat, mas."

"Oh~ hmm, pakai minyak-minyak gitu? Yang buat bayi."

"Baby oil?"

Kulihat ia mengangguk cepat. "Nah iya! Emang dah si Tsumu, malah buat cewek cantik jadi buluk begini."

"Iya 'kan, maaas? Tega banget!"

"Ya udah, dibersihin dulu gih," ucapnya seraya menggerakkan kepalanya. "Tapi kalau masih mau aku ejek juga gak papa."

Aku memanyunkan bibir, lantas memasuki kamarku sementara kulihat dia mengucap kata "bercanda" sambil terkekeh. Meski begitu, aku malu juga kalau muka cemongku diliatin sampai diejekkin segala. Sekarang aku punya dendam pribadi dengan kak Atsumu.

~~~

Mukaku masih belum bersih dan aku gak punya baby oil.

Aku cuma punya pembersih makeup dan ternyata gak terlalu bisa membuat wajahku bersih. Aku mendengkus pasrah, sepertinya noda-noda ini akan bertahan.

Tok tok.

"Neng? Ada di dalem gak?"

Suara ketukan pintu diiringi suara seorang lelaki membuatku terkejut. Itu mas Suna. Aku ingin membukanya, tapi mukaku kayak patung di depan kampus. Tambah malu aku.

"Mukanya udah bersih belom?"

"B-Belum, mas!"

"Buka dulu pintunya, gue mau ngasi sesuatu," pintanya. "Amanah dari mas Kita."

Aku beranjak dari kursi, berjalan dengan gontai menuju pintu dan hanya membukanya sedikit saja lalu mengeluarkan tanganku. Aku tidak mau menunjukkan wajahku, malu lah. Tahu-tahu di tanganku telah dikaitkan sesuatu yang berbungkus kantong plastik putih.

"Ini apa?" Kutanya seraya sedikit menyembulkan kepalaku.

Mas Sun mengendikkan bahu. "Gak lihat isinya."

Aku mengangguk, memasukkan tanganku yang memegang kantong dan menutup pintuku perlahan. "Makasih, mas."

Sejenak kulihat isi di dalam kantong. Disana ada baby oil, kapas dan pembersih muka. Uh, ternyata barang yang aku butuhin udah ada disini. Pengen bilang makasih ke mas Kita habis bersih-bersih.

"Lo mau tahu itu pirang sekarang dimana?"

Ketika aku hendak menutup pintu, tanganku terhenti saat pertanyaan tersebut dilontarkan padaku. "Kemana, mas?" tanyaku.

"Di rumah emak kos."

"Ngapain?"

"Jadi babu."

Kos-Kosan! [✓] || InarizakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang