Episode 8 : Fariz Sang Pianis

6 1 0
                                    


Denting suara piano berkumandang bening. Mengalun merdu dan lembut, menyambut langkah-langkah kaki Ryn. Mas Fariz yang kali ini berpakaian casual sang pianis melontarkan senyumnya pada Ryn. Sejenak Ryn terpana melihat pria keturunan Belanda-Jawa-Cina itu kembali memainkan piano di resto ini, Ryn mengangguk dan bergegas berjalan ke meja di sudut, tempat duduk favoritnya.

Entah kenapa, tiap kali kesini Ryn selalu memilih meja itu. Mungkin karena privacy. Dari meja ini Ryn bisa melihat siapa saja yang masuk tanpa diriku sendiri terlihat.

"Masih hangat mbak Ryn", seorang pramusaji menyuguhkan secangkir kecil minuman. Sari kacang hijau, masih segar, tanpa gula. "Makasih Mbak", balas Ryn.

Di resto ini ada 4 jenis minuman khas sebagai pembuka yang selalu disajikan kepada tamu-tamunya secara free. Sari kacang hijau, jus jeruk Sunkist, ramuan beras kencur dan sari alang-alang. Dan Mbak Sari tahu sekali yang mana kesukaan Ryn. Nyaris lebih dari lima belas tahun Ryn jadi pelanggan resto ini. Sejak masih kecil, datang bersama papa mama hingga saat sekarang Ryn telah bekerja.

Di Bandung bukan tak ada resto lain. Seiring dengan pesatnya pembangunan, nyaris di tiap sudut kota selalu saja ada muncul resto-resto baru, mulai dari kelas atas sampai ke kelas kantong cekak. Tapi entah kenapa, Ryn suka sekali tempat ini. 

Resto keluarga bernama Bayou ini tidak terlalu besar, menempati bangunan bergaya kolonial dengan gaya arsitektur artdeco, dengan langit-langit tinggi, jendela berukuran besar, pilar yang kokoh, lantai ubin berpola mozaik, dan mereka menyajikan menu masakan yang kental dengan nuansa jadulnya.

Ada menu masakan belanda jadul, masakan chinesefood peranakan, dan masakan Indonesia yang kental nuansa jadulnya, semuanya disajikan tanpa MSG. Ah pokoknya sesuatu yang sangat langka untuk ditemui di restoran lainnya. Jika tidak sibuk, setidaknya sebulan sekali Ryn pasti mampir ke resto ini. Ryn dan para karyawan resto ini, juga Omm Sunyoto pemiliknya sudah seperti keluarga besar saja.

"Sedang mengerjakan proyek apalagi Ryn?". Sapaan itu mengejutkan Ryn dari lamunan.

"Ah, mas Fariz. Enggak, bukan apa2 kok", Ryn buru-buru menutup mini laptopku.

"Eh, boleh dong mas lihat..boleh ya?".

"Ehm..iya deh, tapi jangan diejek ya mas kalau jelek".

Ryn membuka laptopku, lalu menunjukkan padanya file-file sketsa buatanku.

"Bagus sekali, renderingmu makin halus, nyaris tidak bisa dibedakan dengan foto asli".

"Ah bisa saja, kalau mas amatin bentuk bayangannya, masih nampak tidak pas".

"Tapi sebagai orang yang hanya belajar secara autodidak, penguasaan 3D kamu bagus sekali".

Ryn tersenyum. Ya, Ryn memang tidak pernah belajar software 3D drawing secara khusus. Mas Fariz lah yg mengajarkan padanya pertama kalinya, di resto ini juga.

Mas Fariz sang pianis ini, sebenarnya adalah seorang arsitek handal, senior di kampus Ryn. Dulu Ryn begitu iri dengan kariernya yang cemerlang. Lulus kuliah, dia langsung mendapat pekerjaan di biro konsultan ternama, di ibukota. Dua tahun kemudian, dia ditawari bergabung dengan biro konsultan internasional yang berkedudukan di Hongkong.

Nyaris delapan tahun dia bermukim di Hongkong. Dan tiba-tiba dua minggu lalu mas Fariz pulang kembali ke kota Bandung. Kini kegiatannya sehari-hari hanya bermain piano, di resto ini, milik orang tuanya. Tak ada seorangpun yang tahu kenapa dia tiba-tiba kembali. Tidak juga para karyawan resto.

"Ini proyek perumahan di Bukit Darma Regency itukah?".

"Kok tahu mas?" Ryn agak kaget, di sketsanya sama sekali belum tertulis judul proyek, bahkan di nama file sekalipun.

"Pemiliknya temanku, si Irvin. Dia bercerita banyak soal kamu. Dia sangat senang dengan pekerjaanmu. Rapi, detail, tepat waktu dan berkelas".

"Ah, mas Irvin berlebihan. Aku kan cuma melakukan apa yg diminta. Nggak ada apa-apanya pekerjaanku dibanding dengan kalian.". Ya Ryn yakin itu cuma basa basi para seniornya saja. Mas Fariz dan mas Irvin jauh lebih handal darinya.

Mas Fariz tersenyum. Dia menatap Ryn lekat, membuat Ryn salah tingkah.

"Hmm oh ya, Irvin juga bilang, dia naksir kamu. Kalau kamu beri lampu hijau, aku akan bilang ke dia. Bagaimana ?"

Kali ini Ryn seperti terkena serangan jantung. Astaga, mas Irvin naksir Auryn? Mana mungkin ? Irvin, senior Ryn, yang ganteng dan kaya raya itu? Gadis manapun bisa dia dapatkan, kok naksir Ryn? Ngibul nih mas Fariz!

"Jangan ngeledek gitu ah mas. Gadis kayak aku mana mungkin ditaksir boss seperti dia?" sergah Ryn.

Mas Fariz tergelak. "Ryn, Ryn..di dalam dirimu ternyata masih Ryn yang dulu, yang tidak pernah pede".

Mas Fariz menepuk pelan bahu Ryn lalu berjalan kembali ke pianonya. Alunan lagu lembut kembali terdengar. Kali ini melodi Careless Whisper kesukaan Auryn. Sambil menikmati menu masakan belanda jadul bernama 'Beefstuk' yang dimasak langsung oleh Pak Sunyoto, Ryn asyik melihat jari jemari mas Fariz lincah menari-nari di atas tuts tuts piano. Dentingan indah yang sering membuai Ryn ke dunia mimpi.

Setelah menyelesaikan satu nomor lagu, Fariz kembali melirik ke arah Ryn, dia tersenyum kecil pada Ryn yang membuat hati Ryn jadi dug-dug-seer, kemudian dia melirik pada tamu-tamu yang lain sambil tersenyum ramah.

Kembali dia mengetuk lembut tuts-tuts piano tua warisan sang kakek, yang sering dia panggil Eyang. Saat kecil, Fariz sangat suka melihat Eyangnya yang asli orang Belanda memainkan piano. Jari jemari Eyang yang sudah tua itu tetap bisa menari-nari dengan lincah, memperdengarkan lagu-lagu klasik. Meskipun matanya tak terlalu awas lagi, namun Eyang masih bisa membawakan lagu-lagu karya Chopin, Tchaikovsky, Bach bahkan Mozart.

"Musik itu sangat penting. Dia bisa memperhalus akal budi dan perasaan. Orang yang menyukai musik akan menjadi pribadi yang lebih sabar, sopan dan halus tuturnya. Banyak jenis alat musik modern tapi piano tetap dasar dari bermusik. Sama seperti begitu banyak jenis musik, tetap saja musik klasik adalah dasar. Jadi belajarlah piano, kuasailah musik klasik. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirimu sendiri. "

Nasihat yang diberikan Eyang itu terus diingat oleh Fariz. Tapi bukan karena nasehat itu yang membuat Fariz kecil belajar piano. Dia sendiri telah jatuh cinta pada musik. Setiap hari tanpa diminta, Fariz akan belajar dibimbing sang kakek. Kecintaannya pada seni musik sama dalamnya dengan kecintaannya akan dunia arsitektur.

"Tidak ada lagi yang memainkannya sejak kamu pergi, tapi Papa tetap merawatnya dengan baik. Papa panggil orang untuk tuning setiap 6 bulan untuk periksa apa hammer tutsnya nyangkut atau ada tuts yang turun. Papa nggak mau Eyangmu di surga mengutuk Papa". Pak Sunyoto dan Fariz tertawa. Ya Eyangnya Sang Meener akan marah besar dan mungkin bangkit dari kuburnya jika tahu benda kesayangan ini ditelantarkan.

Fariz mencoba menekan beberapa tuts, memeriksa nada-nada tiap tuts. Nocturne op 9 # 1, karya Frederic Chopin pun terdengar mengalun merdu, menggema di penjuru ruang makan resto itu. Para pengunjung yang sedang makan siang nampak terpukau oleh permainan indah Fariz.

Banyak di antaranya yang begitu terpesona hingga memilih untuk berhenti makan agar bisa mendengarkan alunan lagu. Dari balik meja kasir, mata bu Sunyoto berkaca-kaca. Rasanya waktu seperti berputar kembali ke masa lalu, saat mendiang ayah mertuanya setiap siang bermain piano. Suasana di resto seolah kembali hidup setelah sekian tahun hanya ada musik dari cd player. Rasanya tetap berbeda.

Di sebuah meja yang letaknya agak tersembunyi, seorang gadis tampak terus menatap ke arah Fariz. Nampak sekali dirinya menikmati permainan piano Fariz. Baginya nada demi nada yang keluar dari tuts piano bagaikan suara bisikan surga yang membuai. Matanya setengah terpejam, entah khayalan seperti apa yang tengah menari-nari di benaknya. Nocturne karya Chopin yang sebenarnya terdiri dari 21 bagian dan dibuat antara tahun 1830 hingga 1844 adalah karya masterpiece yang sangat indah.

"Kamu nampak banyak berubah. Aku tidak mengenali kamu kemarin" sapa Fariz setelah selesai bermain pianonya, kini tema obrolannya lebih ringan daripada yang tadi membicarakan proyeknya Ryn.

Menjemput ImpianWhere stories live. Discover now