Episode 6 : Sohib Lawas

6 1 0
                                    


Keesokan harinya, Irvin tergesa-gesa. Mobilnya terjebak dalam kepadatan lalu lintas. "Sudah lewat setengah jam dari waktu yang kujanjikan. Aduh, dia pasti marah. Mau gimana lagi, jalanan di Bandung ini sekarang mulai terasa padat. Belum sepadat Jakarta, tapi tidak lengang lagi seperti dulu", gerutu Irvin dalam hati. Dimana-mana mobil merayap, sepeda motor mengular. Pejalan kaki berseliweran gara-gara jatah mereka, trotoar, banyak dirampas oleh para pedagang kaki lima.

Ketika akhirnya Irvin sampai di tempat yang dituju, sebuah kafe di daerah perbukitan kota Bandung, jam sudah menunjukkan dirinya terlambat nyaris satu jam. Setengah berlari Irvin segera menuju ruang tengah cafe. Mereka janjian bertemu di sofa merah dekat piano. Irvin langsung bisa melihat sosok yang akan ditemuinya itu, sedang duduk di depan piano, mengenakan kemeja biru lengan panjang yang lengannya digulung, bajunya tidak dimasukan dan celana jeans belel, asyik memainkan One Man's Dream nya Yanni.

"Hai Fariz...apa kabar bro! Makin ganteng saja kau. Tapi kurang ajar sekali kau, pulang tak kabar-kabari dulu", sapa Fariz. Irvin menjabat erat tangan sahabat lamanya, Fariz. Percakapan seru antara dua kawan lama pun terjadi. Sesekali suara ketawa terbahak-bahak terdengar. Irvin dan Fariz memang bersahabat sejak kecil hingga kuliah. Hanya karena Fariz lebih pintar, dia lulus terlebih dahulu.

"Jadi ceritanya kau resign dan pulang begitusaja ? Ckckckck...wajarlah kalau mama kau ngamuk. Dan kau juga tetap menjomblo selama bertahun-tahun ? Gw pikir dirimu ini jenius, ternyata kau lebih bodoh dari yang kukira, malah bukannya bodo lagi, tapi bego!", Irvin tergelak.

Fariz tertawa. Ia tidak marah dikatai bodoh, karena ia sendiri menyadari kebodohannya. "Tapi tunggu dulu. Bukankah kau pun sama bodohnya denganku ? Masih tetap jomblo, dasar bujang tua! Lantas buat apakau punya duit sebegitu banyak?" Seloroh Fariz.

Fariz sudah lama tau, Irvin teman semasa kuliah ini, cukup sukses menjalankan bisnis propertynya. Bukan skala besar, tapi bisalah dikatakan sangat berkecukupan. "Eit, tunggu dulu bro. Kita tidak sama. Aku sudah punya incaran, macam calon kepala daerah, aku punya visi dan misi. Tak samalah kita. Kau bahkan sekedar pandangan saja tak punya. Bego kau ini, buat apa dirimu dikelilingi wanita-wanita cantik berkulit bak porselen, kalau akhirnya tak satupun bisa kau dapat".

"Ah sudahlah. Aku tak suka wanita Hongkong, aku tak suka orang asing. Hehehe. Omong-omong, Siapa calonmu ini? Sudah berapa lama kau pacarann dengannya?" sahutku sambil mengingat-ngingat seorang wanita Hongkong yang pernah pdkt padanya."Ehm....bukan begitu. Aku belum resmi pacarann. Baru itu tuh...mau mengajukan proposal", Irvin mengedipkan mata.

"Gayamu bro. Macam remaja belasan tahun sajakau, pakai proposal segala. Udah langsung saja sampaikan maksudmu".

"Gimana ya bro. Kau kan tau, aku ini dulusering banget ditolak cewek, gengsi donk kalau kali inipun ditolak lagi"

"Itu kan dulu, jaman kau masih badung. Tukang bolos kuliah, tukang mabuk, tukang godain cewek, tukang ngutang di ibu kantin. Mana ada yg mau sama kau ? Sekarang kan kondisimu sudah berbeda sekali".

"Ya begitulah bro, kesadaran memang selalu datang telat. Itupun kalau bukan karena digamparin mama Desi ku, mungkin aku tidak akan bisa berubah". Ada rasa bangga terpancar di wajah Irvin. Ya, dirinya dulu adalah pemuda tanpa masa depan. Meskipun cerdas, kelakuannya sangat badung. Namun berkat tempaan ibunda Irvin, tante Desi, perlahan Irvin bisamemperbaiki diri.

"Sudah, berhenti banggakan dirimu, kau tetap saja kalah ganteng denganku" ledek Fariz. Irvin tertawa. "Eh...omong-omong siapa sih cewek yg kau taksiritu ? Anak mana dia?".

"Anak sini juga. Dulu sekampus dengan kita. Sekarang kerja di konsultan punya Pak Indro dosen kita yg galak itu. Kau masih ingat Pak Indro kan bro, yang galaknya beda tipis dengan singa beranak itu? "

Fariz ngakak. Ya siapa bisa melupakan dosen killer itu. Irvin harus mengulang mata kuliah Pak Indro hingga lima kali baru lulus. Pak Indro tidak peduli akan teguran dekan fakultas bahwa tingkat ketidaklulusan yang tinggi di mata kuliah Pak Indro bisa mengakibatkan konduite beliau buruk. 

"Kau pikir aku harus luluskan anak-anak berotak udang itu???Kalau bodoh dan malas, jangan harap mereka bisa lulus! Persetan dengan konduite segala macam !" jawab Pak Indro pada pak Dekan. Pak Dekan yang usianya lebih muda itu hanya bisa manggut-manggut. Tapi di balik gaya killernya, Pak Indro tetap dosen terbaik di mata Fariz. Berkat tempaan Pak Indro lah (yang juga merupakan dosen pembimbing skrispsinya), Fariz bisa sukses meniti karier hingga ke tingkat internasional.

"Jadi cewek yang kau incar itu satu angkatandengan kita?".

"Adik kelas bro. Empat tahun di bawah kita. Cuma karena aku banyak ngulang, aku sering ketemu. Kau sih buru-buru lulus,jadi nggak tau dia".

"Oh ya ? Kok sama. Aku juga lagi naksir adik kelas kita. Siapa nama cewek itu?".

"Jangan ketawa ya..bener jangan ketawain akuya..".

"Kenapa mesti ketawa ? Emang siapa?".

"Hmm...itu tuh, si cupu, yang kawan kawan kita suka panggil gentong saat Opspek, Auryn. Inget kan Auryn, biasa dipanggil Ryn".

Darah di badan Fariz seperti membeku. Irvin suka si gendut berkacamata itu? Tuhan, kenapa bisa begini ? Kenapa Irvin harus pilih cewek itu ? Bagaimana dengan aku ? tanyanya dalam hati.

"Coba kau ingat-ingat bro, adik kelas kita adakan yang suka dipanggil si cupu itu ? Kau pernah bilang gambar dia bagus. Nah dia, cewek yang kutaksir. Dia lagi diminta Pak Indro mengerjakan proyek Dharma Regency-ku. Kau harus lihat, disain dia luar biasa. Aah..kenapa nggak sedari dulu ya aku menyadari bahwa dirinya cemerlang". 

Irvin tersenyum-senyum bahagia. Sementara lidah Fariz seperti kelu, kaku. Suaranya mendadak hilang. Ah, harusnya aku tak boleh terlalu kecewa, toh si gendut itu juga tak terlalu cantik buatku, masih kalah oleh  Shixian. Tapi kenapa hatiku terasa sakit ya. Kenapa aku seperti tak rela Irvin naksir Ryn.

"Irvin, kamu serius bro ? " akhirnya Fariz bisa juga menguasai diri.

"Sejuta kali serius, demi langit dan bumi, demi mama Desi, demi semua yang ada di muka bumi ini, aku serius", Irvin menjawab mantap dengan nada bercanda.

"Yang ingin kutanyakan, kenapa dia, apa tidak ada perempuan lain yg lebih cantik dari dia ? Bukannya kau sangat suka yang cantik cantik ?".

"No, no. Di mataku, hanya Ryn yang tercantik.Tolong bro, kalau kau kenal dia, bantu aku menyampaikan ini. Eh, tapi...kenapa aku terus yang kau tanya ? Sekarang gantian aku. Siapa adik kelas kita yang kautaksir bro?".

"Ah, aku belum merasa pasti. Aku masih agak ragu-ragu. Nanti saja setelah semuanya pasti, aku ngomong".

"Jangan lama-lama bro, keburu bujang lapuk kau, ingat, kita ini sudah kepala tiga. Mau tunggu apalagi ? "

Fariz memaksakan diri tersenyum. Separuh keceriaan di hatinya seperti lenyap. Langit yang cerah mendadak terasa muram dimatanya. Selesai makan siang, mereka berpisah. Irvin meninggalkan cafe dengan wajah sumringah, badan terasa penuh energi. Sedang Fariz meskipun berusaha tersenyum, tapi hatinya tak bisa berbohong, seribu kegundahan menyelimutinya. 

Rencana yang sudah dia persiapkan sejak masih di Hongkong, tiba-tiba seperti buyar begitu saja. Langkahnya menjadi gamang.

Menjemput ImpianWhere stories live. Discover now