16. Deklarasi Perang

861 110 47
                                    

-Cerita ini hanya fiktif belaka, lahir dari pemikiran gue sebagai penulisnya. Para plagiator ingat, karma itu datengnya enggak pake permisi-

***

Bola mata Rio bergerak. Bergulir bergantian untuk mengamati satu persatu teman – temannya yang sedang memberi tatapan menyelidik dan penuh rasa ingin tahu. Sekarang ini, mereka sedang duduk pada salah satu meja yang ada di sudut ruangan besar tempat acara peresmian bisnis baru Ayahnya sekaligus pertunangannya dengan Ify terselenggara. 

Setelah tadi langkah kakinya dengan Ify dihadang oleh Samudra dan Gabirel, dua temannya itu segera menggiring mereka kepada meja yang ternyata sudah ditempati oleh Alvin, Shilla, Via, Prissilia dan Adrian.

Rio mendengus malas ketika bola matanya terjatuh pada tatapan Samudra. "Kenapa mata lo disipit – sipitin gitu? Kelilipan lo?!" sewot Rio.

Samudra menaruh jari telunjuk di depan bibirnya. "Sst, kakanda Rio, Anda tidak berhak sewot. Yang seharusnya sewot di sini tuh kita – kita." Cowok itu menunjuk teman – temannya yang lain.

Lalu Samudra berlagak seperti orang penting, tangan cowok itu bergerak di depan hidungnya, seolah membetulkan kacamata. "Mari kawan – kawan, kita mulai sesi introgasinya."

"Lo ngapain, Sam?" tanya Adrian keheranan ketika melihat gerakan Samudra yang terakhir.

"Benerin kacamata."

Dahi Adrian mengerut, tidak mengerti. "Kacamata? Lo kan enggak pake!"

"Kacamata imajiner." Sahut Samudra sambil mengangguk beberapa kali. "Emang cuma orang berakhlak yang bisa liat sih. Maaf, maaf nih."

Gabriel mendengus. "Heh ngaca! Di antara kita semua, yang akhlaknya paling jongkok itu ya elo, Sam!"

"Sst, mending lo diem." Potong Samudra. "Ini kita mau introgasi Rio, lebih penting dari pada ngomongin akhlak lo yang rendah itu." Lanjutnya.

Gabriel mengepalkan tangan lalu meninju udara saking kesalnya dengan ucapan Samudra. Itu anak enggak nyadar apa ya, dia itu yang paling akhlak-less di antara mereka? Bisa – bisanya bocah itu malah ngatain orang. Mana mukanya nyebelin lagi. Minta banget silaturahmi sama tangannya.

"Yok, kita kembali ke laptop!" ujar Samudra sambil menjentikkan satu jarinya. "Jadi, kakanda Rio, sudah berapa lama?"

"Apanya? Tunangannya? Baru sekitar satu jam yang lalu. Lo juga liat 'kan." Sahut Rio enteng.

"Dih! Bukan itu maksudnya!"

"Makanya nanya yang jelas!" Cela Rio.

Samudra mendesis kesal. "Maksud gue, sejak kapan lo tau kalo yang jadi tunangan lo itu Ify?" 

"Udah lama." Jawab Rio dengan singkat.

"Ya kapan? Tanggal, bulan, tahun berapa? Hari apa, jam berapa?"

Ternyata meski pertanyaannya sudah jelas, Rio tetap saja menjawab dengan cara menyebalkan. Samudra merasa sifat itu memang sudah mendarah daging pada Rio, seperti daki yang menempel di permukaan kulit. Susah diangkatnya kalo tidak digosok.

"Mau bikin akte kelahiran lo? pake nanyain tanggal, bulan, sama tahun segala." Rio kembali mencela pertanyaan Samudra.

"Wah, wah, wah." Samudra menarik sedikit lengan kemeja yang sedang dikenakannya. "Pegangin gue coba, tahan gue. Tahan!" ujarnya sambil memandang sinis kepada Rio.

Shilla yang duduk di sebelah Samudra hanya bisa memutar bola matanya. Shilla bersyukur mereka sedang di acara formal. Jadi tingkah alay Samudra masih dalam dosis yang rendah karena cowok itu takut diomelin sama Papinya.

The Heirs (US#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang