Enam belas

4.6K 501 53
                                    

p.s diatas outfit Leetha dihari senin yang cerah, harusnya pake blazer, tapi gaada blazernya. Jadi anggap aja pakai ya, gaya Leetha hari ini semi-casual-formal.

* * * * *

"Dek mau berangkat sama siapa?" Aku mendongakkan kepala karena kini sedang memasang sneaker di kursi depan.

"Mas Ursa Bang, gak apa kan?"

"WFH mu barengan sama dia?" Aku mengangguk.

"Pak Dio minta biar aku di barengin sama Pak Rama." Aku menyandarkan tubuhku saat selesai mengikat tali sepatu.

"Pulangnya di anter jugakan?" Aku mengangguk lagi.

"Taa, bareng gak? Bapak bawa mobil." Bapak keluar dari pintu dengan kaos kaki di tangannya, dirinya kini duduk di bangku yang lain. Karena di sebelahnya ada meja yang memisahkan kami.

"Gak Pak, aku di jemput."

"Oh yaudah." Aku memperhatikannya, entah kenapa senyum manis yang ingin kulemparkan padanya malah terasa menyakitkan saat kucoba berikan.

"Kamu pake apa Bang?" Bapak bertanya pada Abang sebelum dirinya beranjak ke garasi. Mobilnya dimasukkan ke dalam garasi, sedangkan mobil Abang terparkir di halaman depan garasi.

"Bawa motor Pak. Randu mundurkan dulu mobilnya."

Bapak hanya mengangguk, langsung berlalu ke garasi dan menarik pintunya terbuka. Ku lihat Bang Randu bergegas masuk ke mobilnya, bunyi mesin menyala terdengar dari kedua mobil. Tak menunggu waktu lama Bang Randu memundurkan mobilnya, lalu mobil Bapak keluar dari garasi dan langsung melesat setelah keluar dari gerbang rumah. Abang Randu kembali memasukkan mobil, kali ini membawanya terus masuk kedalam bagasi.

"Adek kapan diizinin belajar naik motor atau mobil Bang?" Tanyaku saat Bang Randu sudah kembali berdiri di hadapanku.

"Gak perlulah. Udah ada Ursa, kamu juga kadang pulang kerjapun di tebengin Pak Dio atau gak Pak Rama." Sebelum aku menjawab, bunyi klakson terdengar.

Ku miringkan badan, di depan sana ada mobil yang baru saja terparkir tepat di depan pintu, dengan hanya menyisakan jalan satu motor untuk keluar. Ku lihat Mas Ursa keluar dari dalam mobilnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam" belum sempat aku bangun, Bang Randu lebih dulu menghampiri Mas Ursa.

"Eh udah dateng Ursanya?" Ibu tiba-tiba berdiri di depan pintu, aku kaget melihat Ibu yang sudah ada disana. Kini Ibu juga memanggilnya dengan hanya 'Ursa' mengikuti Bang Randu. Katanya 'Mas' biar aku aja yang menggunakan. Padahal Mas itu panggilannya di kantor.

"Assalamualaikum Bu, pagi." Mas Ursa menyalami Ibu.

"Waalaikumsalam. Jadi ngerepotin jemput Leetha dulu." Mas Ursa membuat gerakan tangan cepat.

"Gak merasa di repotkan Bu, malah saya yang minta ke Leetha supaya diizinkan menjemput. Kebetulan saya sedang menginap di rumah Nenek saya di dekat sini."

"Oh iya? Dimana emang rumahnya?" Ibu terlihat ingin tahu.

"Pas banget di tanjakan yang mengarah kesini Bu."

"Oh yang tembok biru muda itu ya?" Mata Ibu berbinar setelah tau rumah mana yang dimaksud, sedangkan aku masih berpikir rumah mana yang dimaksud Mas Ursa

"Betul Bu."

"Oalah dekat banget ya. Ya sudah, kalian berangkat deh. Nanti jalanan tambah macet."

Aku menguncir rambut dengan cepat, lalu memakai masker yang sudah kuletakkan bersama tas di meja.

"Hati-hati Sa." Abang menepuk pundak Mas Ursa pelan. Aku memperhatikan interaksi keduanya. Biasa aja, padahal kata Abang waktu Mas Ursa ngeliat dia, Mas Ursa kaya mau ajak tengkar.

end | Let Me KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang