Satu

10.7K 755 24
                                    

Sabtu, ya hari Sabtu. Hari dimana harusnya setelah pukul 13.00 aku bisa 'bersenang-senang' tetapi selalu berhasil di gagalkan oleh berbagai pihak. Dan pelaku kali ini ialah Chief HRD GA ku. Entah apa lagi yang menjadi alasan beliau menahanku disini, karena semua pekerjaan wajib sudah kukerjakan. Kenapa wajib? Karena Pak Dio-Chief HRD GA ku selalu berhasil menambahkan tugas tidak wajib yang lainnya. Lebih seringnya, tugas itu diberikan pada hari sabtu setelah makan siang. Bukan hanya Pak Dio, 'Pak-Pak lain' pun entah kenapa selalu berlomba memperebutkanku di hari sabtu. Bukan berarti hari lain tidak, tapi seharusnya sabtu itu hanya Half Hours, bukan Full.

"Taa, itu yang PO kemarin sampai mana deh progressnya? Udah kamu bikin kan yang saya minta?" Dengan tangan yang menggeser-geser kursor, Pak Dio memfokuskan pandangannya ke arah PC.

"Sudah pak. Kamis siang udah aku kirim ke Emailnya kok. Emang kenapa Pak? Urgent banget?" Aku menghadap kearahnya bertanya binggung. Masalahnya PO itu baru di paraf hari kamis sebelum istirahat, jadi baru bisa aku tindaklanjuti setelah makan siang.

"Gak urgent juga si, tapi si Ridwan udah nanyain aja. Makanya saya konfirmasi lagi ke kamu." jelasnya.

"Baru juga satu hari kerja Pak, kalau barang ready pun paling baru Senin atau Selasa sampai disini." balasku sambil membereskan barang-barang.

'Semoga cukup sampai disini, please aku butuh pulang. Malam Minggu loh ini, udah janjian juga mau keluar aku tuh. Ya Allah tolong kabulkan.' rapalku dalam hati.

"Ehh mau kemana kamu udah beres-beres aja Taa?" Pandangan Pak Dio kali ini menghadap ke arahku.

"Pulang dong Pak, coba tengok jam berapa sekarang." tanganku masih sibuk membereskan ATK yang tersebar di atas meja.

"Emang saya udah selesai kamu main beres-beres ajaz" Aku mendengar nada humor di pernyataan Pak Dio. Tetapi tetap saja aku menghentikan tanganku yang sedang merapikan barang dan menatapnya lurus. "Becanda Taa, lagian mau kemana si? Jomblo aja gayaan mau tenggo, emang ada yang ngajak malam mingguan?" Lanjutnya sambil terkekeh.

"Bapak gak tau aja." aku tertular kekehannya.

"Tau saya mah kalau kamu jomblo." Aku mendelikan mataku kearah Pak Dio.

Aku berdiri merapikan baju dan rambut, memakai kembali masker setelah touch-up lipcream yang hilang karena makan siang. Lalu memeriksa kolong meja dan mengganti high heels yang kugunakan dengan flatshoes. Keluar dari bangku, aku melangkah kearah Pak Dio dan menyalami tangannya.

"Leetha duluan ya Pak, jangan Pulang malam-malam Pak kasian Ibu dirumah malmingan sendiri." Ledekku. Pak Dio hanya tertawa. Tetapi anehnya beliau juga beranjak dari kursinya, membuatku mengangkat alis memandangnya binggung.

"Kamu mau nebeng gak? Saya juga mau pulang kali Taa. Mau pacaran saya, emang kayak kamu jomblo." Lalu tawanya keluar. Dan aku hanya meliriknya dengan sebal.

"Kenapa Yo?" Tiba-tiba ada suara lain memutus tawa Pak Dio.

"Pak." Kami serempak menganggukan kepala.

"Biasa, ledekin Taleetha Pak." jawab Pak Dio, sedangkan Pak Rama—suara lainnya hanya mengangguk-angguk kecil.

"Bareng Dio kamu Taa?" Tanganku mendorong pintu dengan cepat, mempersilahkan Pak Rama dan Pak Dio keluar lebih dulu.

"Iya Pak, lumayan uangnya bisa saya belikan chatime." Balasku yang ikut mengekori mereka dari belakang.

"Kamu ini minumannya Taa, sakit lagi nanti kamu."
Aku hanya memberikan tawa kecil bercampur keki. Padahal ya aku sakit bukan karena 'minuman' itu. Tetapi karena memang waktunya saja aku sakit.

end | Let Me KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang