Part 9

370 6 4
                                    

Para bocah lelaki berlarian kencang, berlomba siapa yang akan tiba di tempat duluan. Di belakang mereka tampak dua lelaki beda usia berjalan memasuki pekarangan panti asuhan. Kesamaan mereka, sama-sama memakai baju koko, peci dan sarung. Pakaian khas muslim ke masjid.

Menyadari ayahnya sudah pulang dari jumatan, Dea yang sedang bermain dengan anak-anak panti, segera melarikan diri ke dapur. Ia malu jika harus berpapasan dengan pemuda di sebelah ayahnya.

Sedari jauh Bashirah sudah menundukkan pandangan, menyadari saat itu di panti asuhan sedang ada seorang gadis. Namun, gerakan Dea yang berlari kencang dan berakhir tersandung tikar, membuat pemuda itu mengangkat kepalanya.

“Astaghfirullah Dea,” ayah Dea geleng-geleng kepala.

Gini amat sih kalau grogi, Dea bergumam seraya menahan malu. Anak-anak tentu saja menertawakannya.

“Bunda, ayah sudah balik dari masjid. Apa makanannya bisa dibawa ke ruang tamu sekarang?” tanya Dea.

Bunda adalah sebutan untuk ibu pemilik panti asuhan Al-Ikhlas. Semenjak suami dan anaknya meninggal karena kecelakaan, beliau menjadikan rumahnya sebagai panti asuhan untuk menampung mereka. Juga mendidiknya dengan nilai-nilai islami.

Ketika yang lelaki berangkat ke masjid, yang perempuan mempersiapkan makan siang. Semua masakan sudah dimasak dengan bumbu khas menghasilkan aroma yang sedap.

Sebenarnya di dekat dapur ada ruang makan, tetapi ruangannya tidak begitu luas sehingga acara makan siang bersama digelar di ruang tamu saja.

“Adik-adik, lain kali, kalau ada orang jatuh itu dibantu, bukan ditertawakan.  Kasian,” peringat Bashirah pada anak-anak panti.

“Kami masih kecil, nggak sanggup bantu. Kenapa bukan akhi aja yang bantuin?” tanya Shena dengan polosnya.
Kedua mata Bashirah melotot mendapat pertanyaan dari anak umur 5 tahun itu. Namun, ia menjelaskan pada anak-anak.

“Akhi nggak bisa, bukan mahram. Jadi nggak bisa disentuh sembarangan.”

“Bukan mahram? Artinya apa itu akhi?”

“Jadi, mahram itu adalah orang-orang yang gak bisa kita nikahi. Contoh, kakak perempuan, adik perempuan, bibi, nenek. Mereka itu orang yang bisa bersentuhan dengan kita.”

“Berarti akhi Bash bisa dong nikah sama kak Dea, kan bukan mahram!” seru Ayla dengan girangnya. Bashirah hanya bisa menggaruk kepala. Ketika melirik ke belakang, tampak ayah Dea sedang memperhatikannya sejak lama.

“Ya Rabb,” Bashirah menghela napas dan mencari tempat duduk di sebelah lelaki paruh baya itu.

“Anak-anak memang suka aneh-aneh pertanyaannya.”

“Bapak rasa gak aneh,” timpal ayah Dea.
Dea terlihat begitu cekatan mengangkat nasi, lauk, dan peralatan makan. Ia dibantu oleh anak-anak juga. Semua berkumpul di atas tikar yang terbentang. Makanan terhidang di hadapan mereka. Bashirah diminta untuk memimpin doa sebelum makan.

Anak-anak tampak makan dengan lahapnya.

***

Setelah makan, Dea membereskan piring bekas makanan dan membawa ke belakang.

“Adik-adik, tolong dibantu ya, angkat piring kotornya!”

“Akhi, kenapa akhi nggak ikutan bantu? Kan ini nggak bersentuhan sama kak Dea,”

“Shena!”

“Akhi jangan malas,” Shena protes.

Bashirah bukannya malas, hanya saja ia tidak terbiasa berbaur dengan perempuan.

Kalau saja tidak ada Dea, biasanya ia yang membereskan semua peralatan makan itu. Mau tidak mau akhirnya Bashirah bangun dan mendekat, tetapi Dea segera menghalangnya.

“Nggak usah!” ucap Dea dengan sinisnya.

Naabot mo na ang dulo ng mga na-publish na parte.

⏰ Huling update: Apr 05 ⏰

Idagdag ang kuwentong ito sa iyong Library para ma-notify tungkol sa mga bagong parte!

Pendosa BerhijabTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon