Melihat itu Janu menjadi gemas. Jarinya menyentuh bibir Nadine dan mengusap bekas saus yang menempel di sudutnya.

Nadine tertunduk malu. Dengan cepat Janu meletakkan kue di pinggir kursi dan menyentuh kekasihnya.

"Kangen," bisiknya mesra.

Nadine tersentak, lalu menepuk pipi Janu dengan lembut. "Ini tempat umum, Pak Dokter."

Mata cantik Nadine menelusuri wajah Janu dengan perlahan. Tangannya mengusap rahang kokoh lelaki itu, lalu menyentuh hidung mancungnya.

Sepertinya karena kesibukan, Janu lupa bercukur sehingga cambangnya mulai tumbuh tak beraturan. Walaupun begitu, Nadine tetap senang melihatnya. Kadang, jika kita sudah terlanjur mencintai seseorang, apa pun rupa fisiknya, dia selalu tampak indah di pandang mata.

"Kalau begitu apa perlu cari tempat yang lebih privasi?" bisik Janu lagi, saat melihat sang kekasih terlihat semakin menggemaskan.

"Apaan coba?"

Nadine menggeser duduknya agak menjauh. Sekalipun Janu bersikap sopan, dia tetaplah lelaki normal. Mereka memang berpacaran, tetapi dia harus tetap menjaga diri.

"Kita baru satu kali ci--"

Ucapan Janu terhenti saat jemari halus Nadine menyentuh bibirnya. Dokter ganteng itu terdiam. Sepertinya dia harus segera menghalalkan hubungan mereka.

Semoga papanya bisa ditaklukkan dengan segera. Nadine gadis yang baik. Keluarganya juga. Semua itu hanya salah paham yang tak perlu diperpanjang.

Orang tua memang kadang susah diberi pengertian. Papanya pasti menyimpan rasa malu bertahun-tahun karena kasus itu. Semoga mereka diberikan jalan terbaik. Menikah itu ibadah dan pasti akan dipermudah jalannya oleh Tuhan. Entah bagaimana caranya.

"Udah sore. Ayok, pulang," ajak Nadine.

"Kamu gak kangen apa sama aku?" tanya lelaki itu dengan wajah memelas.

Janu berharap bahwa Nadine bisa sedikit lebih romantis mengingat hubungan mereka sudah sampai pada tahap ini.

"Kangen. Tapi pak dokter harus bersabar," jawabnya bijak.

Nadine cukup mengerti kebutuhan seorang lelaki dewasa. Namun, Janu harus menahan diri. Dia bukan perempuan gampangan. Harga dirinya hanya bisa didapatkan dengan mahar.

"Soal Papa--" Lagi-lagi kata Janu menggantung, saat Nadine menggeleng.

"Jangan bicara itu dulu. Kamu fokus kerja aja. Aku juga."

Mendengar itu Janu merasa tidak enak hati. Dia pasti telah banyak mengecewakan Nadine. Namun, jawaban gadis itu malah membuatnya merasa semakin bersalah.

"Aku gak mau kita pisah karena ini, Ndin. Aku beneran sayang sama kamu," ucap Janu tulus.

Janu pernah gagal menjalin suatu hubungan. Untuk itulah kali ini dia lebih serius. Apalagi mamanya sudah memberikan lampu hijau.

Janu tak bisa berpacaran layaknya orang biasa. Dia bisa saja sesekali berkencan. Namun jika itu menjadi sebuah keharusan dalam hubungan, tentu saja akan sulit mencari waktu.

Tanggung jawab terhadap pekerjaan membuat Janu cukup sibuk. Apalagi dokter senior yang ada di rumah sakit akan segera pensiun. Tentu saja dia yang akan menggantikan sebagai dokter utama.

"Kita tetap sama-sama, Sayang. Cuma perlu sabar sampai restu itu datang. Aku gak mau kita nikah diam-diam, sementara papa kamu belum setuju," jawab Nadine.

Perbincangannya dengan Niken beberapa hari lalu membuat hati Nadine sedikit terbuka. Apalagi papanya mengatakan tak ingin memperpanjang perselisihan. Perlahan, gadis itu mulai bisa menerima keadaan.

"Tapi kamu jangan ngambek lama-lama. Kamu kan tau kalau aku ngurusin pasien dulu. Gak bisa selalu ada buat kamu," jelas Janu.

Nadine mengangguk. Mereka bercerita banyak hal sembari menghabiskan Takoyaki yang tadi sempat dingin. Ada banyak orang yang berlalu lalang hari ini sehingga dia berusaha menjaga sikap.

Akhirnya setelah cukup lama berada di taman itu, mereka berjalan keluar. Nadine tidak mau diajak makan malam. Gadis itu mengerti jika Janu pasti kelelahan. Mungkin nanti mereka bisa menjadwalkan sebuah kencan yang manis di akhir pekan.

Mobil melaju membelah jajanan ibu kota. Janu memutar lagu favoritnya. Sepanjang perjalanan mereka saling bercengkerama sembari bernyanyi riang. Lalu, satu jam kemudian berhenti di depan rumah Nadine.

"Sampai ketemu besok," pamitnya.

"Ndin." Janu menahan lengan Nadine sebelum sebelum gadis itu membuka pintu mobil.

Nadine menoleh dan menatap Janu dengan tatapan bingung. Pikirnya, mungkin sang kekasih ingin mengutarakan sesuatu sebelum mereka berpisah.

Melihat Nadine menatapnya sayu, Janu dengan cepat menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukan dan menyentuh bibirnya dengan lembut. Laki-laki itu melakukan apa yang sejak tadi berkelebat di benaknya.

Nadine tak kuasa menolak karena rengkuhan itu begitu kuat. Akhirnya dia menyerah.

***
Aku udah up ini. Ada yang nungguin, gak?

Hello Dr. JackWhere stories live. Discover now