34. Mencintai dan Dicintai

30 9 14
                                    

Titik tertinggi dari mencintai adalah merelakan.

* * *

Kantin Fakultas Ekonomi selalu menjadi tempat paling ramai yang dikunjugi oleh mahasiswa. Ditambah jam yang memasuki waktu siang, semua meja pasti dipenuhi oleh mereka yang ingin menyantap makanan sekaligus melepas dahaga. Sudah sepuluh menit lamanya Lion dan Samuel berdiri di tempat ini. Kedua mata mereka sama-sama menjelajah, mencari kursi kosong yang sekiranya bisa langsung mereka duduki. Hingga ketika segerombolan mahasiswa yang menempati area outdor meninggalkan meja mereka, langsung saja keduanya mengisi tempat kosong tersebut.

"Sumpah, Singa. Lo ngerasain gak kalo hari ini rame banget?" tanya Samuel tepat setelah ia menyeruput jus jeruk miliknya. Seketika hawa dingin bercampur rasa manis dan asam, mengairi tenggorokannya dengan tenang.

"Wajar kali, Sam. Kantin ini bukan cuma diisi sama anak ekonomi aja. Coba lo perhatiin, deh."

Menuruti perkataan Lion, Samuel lantas mengedarkan pandangannya ke segala sudut. Ia mengangguk pelan, kemudian berbicara dengan suara tertahan, "Iya, ya. Ada banyak wajah-wajah baru yang gue gak kenal."

Meninggalkan percakapan, masing-masing dari mereka memutuskan untuk menyantap makanan yang telah dipesan. Jika Samuel sibuk menghabiskan sepiring ketoprak buatannya Mbak Ika, Lion terlihat larut menyantap semangkuk seblak di mejanya. Sesekali ia terdengar meringis, yang pada akhirnya malah membuat Samuel kesal.

"Kan, gue bilang juga apa tadi? Mampus lo kepedesan sekarang."

Lion tertawa, mengabaikan wajah masam Samuel yang masih menghadap ke arahnya. "Stay calm, Sam. Lagian makanan pedes kayak gini udah jadi sahabat gue kali."

Samuel berdecak, tak ingin memperpanjang perdebatan dengan laki-laki di hadapannya ini. Dia hanya berharap, bahwa semangkuk kerupuk bertekstur kenyal dengan kuah sambal tak kira-kira itu bisa menyelamatkan Lion dari malapetaka. Dia tidak ingin kalau laki-laki sakit. Karena jika hal itu terjadi, Samuel akan kesusahan untuk mencari seseorang yang bersedia membantu semua tugas kuliahnya.

"Eh, by the way, si Flower mana? Tumben gak nempel sama lo?"

"Lagi di perpus. Nyari referensi buat tugas kelompoknya. Sialnya, dia malah kebagian sekelompok sama Avery. Bikin gue khawatir aja kalo dia sampe kenapa-kenapa."

Mendadak penjelasan dari Lion mengundang guratan bingung pada wajah Samuel. Ia meninggalkan ketopraknya dan memilih menatap Lion yang tampaknya sudah selesai dengan makanan berkuahnya. "Emangnya kenapa dengan Avery? Setau gue dia itu cewek baik-baik, kok."

"Baik apanya?" tanya Lion tak santai, yang sesaat kemudian malah membuat Samuel sedikit merasa ketakutan.

"Ya ... baik. Soalnya dulu pas zaman SMA, kita berdua itu sekelas," jelas Samuel berusaha untuk tidak terbata.

Namun, Lion tersenyum sinis saat itu. Ia sedikit mencondongkan badan agar bisa melihat kebenaran di wajah laki-laki itu. "Mau gue ceritain sesuatu gak? Tentang udah seberapa baiknya Avery sekarang."

"M─mau. Apa itu?"

Dan, pada akhirnya, cerita panjang itu dimulai siang ini. Lion benar-benar menceritakan semuanya. Saat Avery berusaha mendekati Flower, mengajak gadis itu berteman, bahkan sampai ke kejadian mengerikan yang terjadi Charlotte Sky. Lion sama sekali tidak berniat menyembunyikan tentang kelakuan Avery kepada Samuel. Biarlah laki-laki ini tahu, bahwa sikap seseorang bisa saja berubah dari waktu ke waktu. Sayangnya, di masa ini Avery mengambil jalan yang salah.

"Astaga, Singa! Gue gak nyangka kalo Avery bisa berubah segila itu. Sumpah gue gak pernah tau tentang sisi gelapnya itu. Karena setau gue, Avery itu cewek kalem yang hatinya baik."

20.12 Where stories live. Discover now