12. Patah Untuk Bahagia

38 10 0
                                    

Beberapa orang mengatakan cinta yang besar adalah kunci utama dalam sebuah hubungan. Namun, kataku bukan seperti itu.

* * *

"Huft, akhirnya tugas ini selesai juga. Punggungku sakit banget astaga. Mana leher pegel-pegel lagi."

Flower mengeluh sekalian meregangkan kedua tangan, memutar-mutar kepala lalu merebahkan punggungnya pada kaki sofa yang dijadikan sandaran. Saat ini, posisinya sedang berada di lantai, berhadapan langsung dengan meja kaca dan juga sebuah televisi berukuran besar. Flower menjulurkan kakinya pada karpet berbulu halus dan menoleh sebentar ke arah Lion yang masih terlihat sibuk dengan laptop dalam pangkuan. "Kamu belum selesai?"

"Dikit lagi," jawab Lion dengan jari yang terus bermain pada keyboard.

Flower memindahkan laptopnya ke atas meja. Kemudian melongokkan kepala untuk mengintip tugas Lion. "Oh, iya, tinggal dikit lagi."

Detik berikutnya, Flower mengabaikan Lion dan tugasnya yang sedikit lagi akan selesai. Dirinya malah lebih tertarik memperhatikan ruang tengah apartemen Lion yang luar biasa simple menurutnya. Tidak ada barang-barang atau sejenisnya yang berserakan di lantai. Meja di depannya juga terbilang cukup bersih dari debu. Sepertinya Lion terlalu rajin membersihkannya. Sebuah televisi berukuran besar diletakkan di atas meja kayu berwarna cokelat yang memiliki empat laci. Tak ada bunga ataupun hiasan tiga dimensi selain dari sebuah speaker sedang berwarna hitam. Berdampingan langsung dengan benda tersebut, Lion memiliki sebuah meja kecil dan sebuah kursi dengan warna yang sama.

Pertama kali mendatangi tempat ini, Flower takjub saat melihat balkon yang berada di sebelah kanannya. Tempat itu berhadapan langsung dengan gedung-gedung tinggi yang mengelilingi apartemen ini.

"Apartemen kamu benar-benar nyaman, ya. Pantes aja Samuel sering nginap di sini."

"Kenapa? Kamu mau nginap juga?"

Buru-buru Flower menoleh dan menatap Lion sambil memelototkan mata. "Gila aja. Gak boleh tau cewek dan cowok tinggal satu rumah."

"Aku cuma nanya. Lagian aku gak minta kamu tinggal di sini," jelas Lion membuat Flower berpikir sejenak.

"I--iya, tapi sama aja. Gak boleh!"

Lion membuang napas, tak ingin berdebat karena ada tugas yang meminta diselesaikan. Namun, ini tidak mudah. Salah Lion karena membantu Flower di awal sehingga tugas gadis itu cepat selesai. Jadinya, dia harus mendengarkan Flower yang bercerita atau bertanya banyak hal. Tak peduli apakah Lion memerlukan ketenangan atau tidak.

"Kok, bisa, ya, materi manajemen sesusah ini?"

Dan, sialnya, Lion tidak terbiasa mengabaikan Flower. Mau secerewet apa pun dia, sudah menjadi keputusan Lion untuk selalu memedulikannya.

"Mungkin karena pekerjaannya lebih menjanjikan kali, ya? Tau sendiri, 'kan? Seorang lulusan manajemen bisnis selain dapat bekerja pada perusahaan juga bisa membuka usaha sendiri dan menciptakan lapangan kerja. Gak cuma berguna buat diri sendiri, tapi juga orang lain."

Lion sudah selesai dengan tugasnya dan terlihat menutup laptop untuk diletakkan di atas sofa di belakang kepalanya. Sewaktu memutar kepala menghadap ke arah Flower, dirinya langsung menemukan untaian benang-benang kelelahan yang kusut masai, berkumpul menjadi satu dan terlalu sulit diurai.

"Capek banget?" Lion bertanya, sedikit mengulas senyum saat Flower benar-benar menganggukkan kepala dalam pejamnya. "Baru semester empat. Jalani aja dulu."

"Pas masih semester satu, mata kuliahnya gak sesulit ini. Menginjak semester dua, rasa-rasanya mulai mendekati gila. Semester tiga, udah rada-rada gila. Nah, pas semester empat, jangan ditanya, gila beneran aku. Semester atas gak karuan lagi. Mesti dilarikan ke rumah sakit jiwa kayaknya."

20.12 Where stories live. Discover now