7. As It Was

207 30 9
                                    

As It Was—Harry Styles

***

Dari sekian banyak laki-laki yang ada di sekolah, Salsa sungguh tak mengerti mengapa ia harus bertemu dengan Virza. Jika tahu seperti ini, ia memilih untuk tetap di kantin dan melanjutkan obrolannya dengan Nila, Fifi, serta Rika daripada menghabiskan waktu berbicara tentang hal yang tak dapat ia mengerti dengan laki-laki ini.

“Cepet-cepet banget, Neng.”

Salsa yakin jika semua siswi di sekolah akan melihat Virza sebagai cowok gatel yang biasanya suka menggoda perempuan. Sikap dan penampilannya sungguh membuat Salsa ingin mengalihkan pandang dan pergi sesegera mungkin.

“Bukan urusan lo.” Oh ayolah, mereka bahkan baru beberapa kali mengobrol, tapi mengapa Virza begitu sok asyik padanya? Pikiran negatif Salsa benar-benar tidak dapat dihentikan sekarang.

“Biasa aja kali, Neng.” Virza menunjukkan raut wajah kesal karena jawabannya barusan. “Gue ngedeketin lo tuh cuman mau ngejalanin misi doang. Nggak usah mikir aneh-aneh coba.”

Bagaimana Salsa tidak memikirkan hal aneh-aneh jika Virza saja berperilaku demikian? Misi membahagiakannya? Terdengar begitu menarik memang, tapi itu sangatlah kekanakan. Mereka bahkan tidak saling mengenal sebelumnya, untuk apa pula pemuda itu menjalankan misi yang bahkan tidak punya titik finish itu?

“Manusia nggak bakal bisa bahagia selamanya. Percuma lo ngejalanin misi lo kaya gitu. Gue nggak bakal bisa punya rasa puas sama kebahagiaan yang gue dapetin.”

“Mang eak?”

Mencambuk Virza pakai ikat pinggang boleh tidak, sih? Ia sudah habis kesabaran dengan lawan bicaranya ini.

“Lo ngomong mang eak lagi, gue gampar mulut lo. Minggir, gue mau nemuin Rafael.” Salsa menggeser posisinya dan mulai melangkah guna melewati Virza. Sayang, upayanya tersebut gagal karena pemuda itu malah menutupi jalannya dengan memberikan raut wajah menggoda.

“Jangan marah-marah, dong. Takut.” Virza menunjukkan ekpresi ketakutan.

Tidak merasa kasihan, Salsa kini semakin kesal. Ia tahu jika pemuda itu tengah menggodanya. “Lo bisa nggak sih jangan ganggu hidup gue? Kaya nggak ada kerjaan lain aja lo.”

“Emang nggak ada, Sal. Kan tadi udah gue bilang kalau gue tuh cuman mau bahagiain lo aja.”

Salsa mengembuskan napas berat. Ia rasanya menyerah dengan bagaimana cara menghadapi Virza yang benar-benar di luar nalar pikirannya.

“Bentar-bentar, biar gue tebak.” Virza menunjukkan raut wajah serius. “Lo mau nyamperin Rafael buat nanya-nanya tentang Wilona, kan? Lo nanyain kek mana selera Wilona, apa aja kebiasaan Wilona biar nggak salah kasih waktu ngasih kado, kan?” Ia tertawa pelan. “Sekalian mau caper ke doi.”

Obrolan tentang ia yang akan menemui Rafael hanya diketahui Salsa dan teman-temannya. Ia yakin seratus persen bahwa Virza sudah mengikutinya sedari kantin tadi. Memikirkan hal tersebut saja membuat Salsa merinding.

“Wilona suka musik.”

Salsa yang mulanya sudah akan marah, mendadak redam emosinya. Ditatapnya Virza yang kini tersenyum tipis.

“Gue nggak boong loh kalau soal ini. Wilona emang suka musik.” Virza yang mendadak bersikap kalem membuat Salsa tak begitu yakin. Tak sampai tiga detik yang lalu, pemuda itu begitu usil dan selalu membuatnya emosi. Mana bisa Salsa langsung yakin begitu saja saat ucapan pemuda itu secara tiba-tiba menjadi serius.

TIEMPO (revisi) Where stories live. Discover now