2. Who Says

318 49 6
                                    

Who Says—Selena Gomez

***

Pertemuannya dengan Rafael bisa dibilang sangat sederhana. Mereka bahkan nyaris tidak pernah berbicara pada saat awal bertemu. Keduanya hanyalah teman sekelas, tidak lebih daripada itu. Salsa dan dunianya, serta Rafael yang pendiam dan lebih menyukai Wilona yang kebetulan berada di kelas sebelah. Sesederhana itu kisah mereka.

Itu yang Salsa pikirkan pada awalnya. Hanya teman sekelas memang sepertinya tidak ditakdirkan untuknya dan Rafael.

Satu bulan semenjak ia masuk SMA, permasalahan yang sulit ia tangani datang silih berganti. Salsa lelah. Ia ingin membicarakan hal yang ia alami pada orang-orang terdekatnya, tapi ia takut. Bagaimana jika apa yang ia rasakan ini hanya akan membebani mereka? Pertanyaan semacam ini hilir mudik dalam pikirannya.

Memendam semuanya sendiri menjadi hal paling logis yang melintas di otaknya. Sayang, perbuatannya tersebut membuat mentalnya makin terpuruk. Ia tak dapat mengatasi itu semua.

Ada satu ruang kelas terbengkalai yang ada di sudut sekolah. Nyaris tidak ada murid-murid yang akan datang ke sana karena memang ruangan tersebut terkesan menyeramkan. Hal itu tentu menjadi tempat sempurna bagi Salsa untuk melakukan apa yang terbesit dalam benaknya.

Mengabaikan semua rasa takut yang ia punya, Salsa menyiapkan cutter yang ia beli dari koperasi siswa. Ia akan mengakhiri semuanya di sini, sehingga beban yang selama ini ada akan lenyap bersama kematiannya. Setidaknya itu yang ia pikirkan pada saat itu. Karena pada kenyataannya, seseorang yang tak terduga muncul di tempat ia ingin mengakhiri semuanya.

Pupil mata Salsa melebar, terkejut dengan keberadaan sosok yang tak asing tersebut. Si pemuda jangkung berhenti di ambang pintu dengan raut muka datar. Lawan perannya itu menatap cutter yang ia pegang.

“Lakuin aja kalo berani.” Ia Rafael. Pemuda itu tak mencegah ia untuk melakukannya. “Paling kalo lo nggak bisa mati, bakalan ada bekas luka lebar di tubuh lo. Bukannya orang lain bakal kasihan, yang ada lo bakal di-bully dan lebih terpuruk daripada sekarang,” katanya tenang.

Salsa diam mendengarkan. Ia enggan untuk bersitatap secara langsung. Kepalanya menunduk dan tangannya mencengkeram erat cutter yang sudah dalam posisi menyerang.

“Gue nggak tau apa yang mendasari lo ngelakuin ini.” Ada jeda dalam kalimat Rafael. “Satu hal yang pasti, Tuhan nggak bakal ngasih cobaan ciptaan-Nya lebih dari yang mereka mampu.”

Rafael adalah siswa pendiam di kelas. Untuk pertama kalinya, hari ini, ia mendengar pemuda itu berbicara sedemikian panjang. Salsa entah mengapa tak punya tenaga untuk menjawab satu patah kata pun.

“Terserah lo mau denger atau nggak, sih.”  Rafael melanjutkan. “Gue nggak bakal maksa.” Pemuda itu beranjak begitu saja. Tidak ada kata pendukung yang menyemangatinya seperti yang muncul dalam film-film remaja.

Salsa hanya diam mendengarkan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan ketika Rafael mulai beranjak. Satu hal yang ia sadari pada saat itu, ia telah jatuh hati pada Rafael. Semuanya terjadi begitu saja. Setidaknya untuk saat ini, ia mempunyai tujuan hidup; menaklukan Rafael meski itu sebenarnya terdengar mustahil.

***

“Lo cantik, Sal. Jangan insecure terus. Tiap orang punya kelebihannya masing-masing.” Nila selalu menyemangatinya dengan kalimat tersebut berulang kali. Ketidakpercayaan diri itu muncul setelah ia jatuh hati pada Rafael. Iya, karena saingannya adalah Wilona, si gadis paripurna yang menjadi incaran cowok di sekolah.

TIEMPO (revisi) Where stories live. Discover now