4. Dandelions

237 41 18
                                    

Dandelions—Ruth B

***

Dari ketiga temannya, Salsa paling dekat dengan Nila. Hal itu terjadi karena gadis itu adalah teman sebangkunya; hal klise yang sering terjadi di masa-masa sekolah. Atas alasan tersebut, Nila memutuskan untuk mengajaknya berangkat dan pulang bersama, mengingat sebelumnya ia selalu menggunakan kendaraan umum. Keduanya yang memang satu arah membuat Nila tak keberatan mengantar-jemputnya, tentu saja dengan biaya bensin dibagi dua agar tidak berat sebelah.

Namun sayangnya, hari ini Nila pergi ke Surabaya. Kemarin, Salsa mendapat kabar dari gadis itu bahwa neneknya yang memang sudah dikabarkan sakit sejak lama, mendadak kritis. Atas desakan orang tuanya, Nila pun ikut pergi ke kota pahlawan itu.

Maka, di sinilah Salsa sekarang; gedung olahraga. Entah bagaimana caranya Wilona mengetahui jika Nila tidak sedang sekolah hari ini. Si ratu sekolah secara tiba-tiba memaksa Rafael untuk mengantarkannya pulang. Meski sebenarnya pemuda itu menolak dengan alasan hari ini ada latihan basket, Wilona masih kukuh dengan permintaannya.

Salsa sendiri sebenarnya juga sungkan untuk menerima paksaan Wilona. Namun ia bisa berbuat apa? Seorang Rafael saja bisa dengan mudah mengalah, apalagi dirinya?

Karena Rafael masih memiliki jadwal berlatih basket dengan timnya, Salsa mau tak mau menunggu pemuda itu di gedung olahraga. Ia duduk di tribun dan menonton bagaimana anggota tim melakukan gerakan-gerakan yang sebenarnya cukup asing baginya.

“Latihan pass dulu coba.” Setengah kesal, Rafael memberi intruksi pada salah satu anggota perempuan. “Basket nggak cuman tentang dribble sama nyetak poin aja kaya tadi doang.”

Salsa sebenarnya sangsi dengan keberadaan para perempuan di tim basket ini, mengingat banyak di antara mereka tidak mengetahui dasar bermain basket. Karena memang tidak banyak pelatih yang diturunkan pada tiap ekstrakurikuler, para pemain yang cekatan pada akhirnya diminta untuk melatih para junior yang belum terlalu bisa. Salsa curiga jika mereka hanya mencari perhatian pada Rafael, mengingat pemuda itu memang pada dasarnya tampan. Mendadak perasaan cemburu menguasainya.

“Nggak usah maksa dunk.” Titan menghampiri siswi yang tengah diajari Rafael. “Nyetak poin nggak melulu kaya tadi. Lagian dunk tuh ngehabisin tenaga banget dan nggak punya poin besar. Lo gampang capek, kan? Bisa pakai three point shot. Mau dicontohin?” Pemuda itu tersenyum.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir Titan benar-benar definisi cowok green flag yang semua orang pikirkan. Pemuda itu pernah berkata bahwa ia belum pernah jatuh hati, bahkan untuk cinta monyet sekalipun. Cinta yang sekarang ia pikirkan hanya untuk mamanya, sedang untuk masa mendatang hanya kepada istrinya. Terdengar unik memang, tapi memang seperti itulah sifatnya.

Kalau boleh memilih, Salsa ingin jatuh hati pada lawan jenis yang punya sifat seperti pemuda itu. Ia mungkin tidak akan sesakit hati ini. Titan benar-benar akan menjaga wanita yang ada di sekitarnya, karena perempuan memang pada dasarnya rampuh. Yah, andai saja. Karena pada kenyataannya, ia malah suka dengan Rafael yang jelas-jelas hanya melirik Wilona seumur hidupnya.

Waktu telah berlalu, kini petang mulai menjemput. Tim basket membubarkan diri usai sebuah pertandingan dilangsungkan. Hasil yang menunjukkan 100:57 dalam permainan empat set menunjukkan ketimpangan antar pemain dalam tim. Tentu saja hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi tim inti agar memperbaiki kualitas anggota.

TIEMPO (revisi) Where stories live. Discover now