•43 •pengkhianatan

6.4K 1.2K 237
                                    

Jleb.

"Nghh!"

"Kau mempersulitku, Wahai Ratu. Cepat singkirkan tanganmu agar aku bisa membunuhmu."

Alih-alih nurutin kemuannya yang terkesan maksa itu, gue tentu aja ngegelengin kepala dan menahan genggaman tangan Faresta, nyoba nahan ujung pisau itu supaya gak mengiris lebih jauh jaringan kulit gue. Rembasan hangat mulai gue rasakan membasahi sekitar dada, ngebuat gue gigit bibir bawah lebih kuat tuk mengalihkan rasa sakitnya.

Gue bener-bener gak tahu dan gak mengerti, kenapa sampai orang di luar sana gak curiga atau denger suara kegaduhan yang Faresta dan gue buat sejak tadi. Rasanya, kaga mungkin aja gitu kalo gak ada satu pelayanpun yang lewat dan denger suara gue. Gue mulai curiga kalau Faresta mungkin udah nyiapin semua ini sejak dari jauh hari, tanpa gue sadarin.

Well, dia termasuk panglima dan punya kekuasaan yang cukup buat nyuruh-nyuruh pengawal yang lain. Mereka pasti bakalan nurut kalaupun Fares nyuruh mereka pergi dari area ini sebelumnya.

"Singkirkan tanganmu, Baginda. Ini tak akan berlangsung lama, aku akan mengenai organ vitalmu dan kau akan terlelap."

Faresta, apakah ini sifat lo yang asli? 

Gue ngegeram nahan sakit, yang justru ngebuat Fares jadi keliatan makin puas, seolah kesakitan gue ini memang apa yang dia tunggu. Jangan tanya seberapa sakit, karna udah pasti lebih sakit daripada gak sengaja ketusuk jarum. Belum lagi pergerakan Faresta yang terus aja berusaha ngedorong dan gerakan gue yang berusaha buat ngelepas, jadi ngebuat lebih banyak jaringan kulit yang ke iris, ngebuat rasanya bertambah sakit dan perih.

Tapi, gue gak mau nyerah begitu aja.

"Ke-kenapa? Akh! Sak-ithh!"

Dada gue kembali membusung tinggi saat pisau itu sedikit ketarik, nyiptain rasa sakit lain. Kepala gue ngegeleng, natap dia dengan raut wajah memohon dengan harapan dia bakalan luluh dan nyabut rasa sakit ini sesegera mungkin. Namun lagi-lagi, dia keliatan gak peduli. Kelopak mata gue terpejam sesekali, ngebuat buliran air mata kembali jatuh berlinangan.

Si Faresta cuma ketawa, neken lagi pisau itu sampai gue menengadah. Sakit. Udah, cukup. Berhenti. Gue nggak bisa nahan lebih lama lagi. Rasanya sakit, gue mau ini cepet berakhir. Tapi, gue juga gak mau berakhir dengan menyerahkan hidup gue di tangannya. Nggak. Gue gak mau berakhir kayak gini. Masih ada janin kecil yang harus gue lindungin.

Meski cairan yang masih keluar dari bawah itu sempet ngebuat gue berpikiran yang negatif, tapi gue masih berharap kalau dia baik-baik aja di sana. Dia janin yang kuat, dia harus bertahan.  Gue yakin Tuhan bakal lindungin dia, bakal jaga dia.

"Kau beranggapan jika selama ini aku tulus padamu, Wahai Ratu? Ah, sayangnya tidak," Dia kembali berucap, wajahnya mendekat ke wajah gue. "Di dunia yang kejam ini, harusnya kau berhati-hati. Tak ada seorangpun yang bisa kau percayai. Kau terlalu naif."

"... hha... nhh...."

"Yang Mulia Raja sepantasnya mendapatkan pendamping yang sepadan. Dan itu bukanlah dirimu."

Dan di detik sebelum tenaga gue habis sepenuhnya, tahu-tahu Fares udah terlempar cukup jauh dan Richard dengan tatapan penuh amarahnya berada di sana. Untuk beberapa saat, gue bisa ngeliat dia nginjek pergelangan tangan Fares yang hendak mengambil tuh pisau  yang juga entah sejak kapan udah terlepas.

Gue gak tau dan gue gak mau tau. Kesadaran gue berasa diambang batas ketika gue rasain seseorang neken luka. Gue ngeringis pelan sambil berbisik manggilin Richard berulang kali, berusaha tetep jaga kesadaran. Semuanya terjadi serba cepat tanpa sempat gue cerna. Gue bahkan gak ingat udah sejak kapan tubuh gue dibopong sama Richard, disanggah kepala gue.

"Dimitri, cepat bawa si keparat itu ke penjara bawah tanah dan panggilkan Tabib Will segera!"

Richard menggeram penuh dengan amarah, matanya berkilat merah dan hembus nafasnya itu beneran kedengeran kenceng. Dia ngebiarin si Faresta di bawa sama beberapa orang pengawal keluar kamar, gak dia tatap lagi. Atensinya sekarang benar-benar teralih ke gue, masih sibuk juga neken luka gue dengan tangan lainnya.

Dan untuk pertama kalinya, gue ngeliat dia menitikan air mata. Iya. Seorang Raja yang tangguh kayak dia, nangis karna gue. Dia yang dikenal sebagai Raja hebat dan bijaksana, terisak karna ngeliat gue terluka. Bahkan tatapannya yang biasa penuh kehangatan dan penuh dengan damba itu terganti sama tatap penuh penyesalan.

Alih-alih ngeberhentiin air mata yang berlinang itu, Richard malah memilih buat ngusap sisa air mata yang masih tersisa di ujung mata gue sambil berbisik bilang maaf. Tentu yang bisa gue lakuin cuma diem dan memandangi dia tanpa bisa ngebalas, bahkan sekedar lewat kata. Gue ngebiarin kedua pipi gue ikut basah kena tetesan air matanya.

Tapi jujur, gue gak suka.

Gue gak suka ngeliat dia nangis, bahkan sampai nyalahin dirinya sendiri. Gue gak mau dia sedih, gak mau bikin dia panik. Gue mau ngebisik, bilang kalo gue baik-baik aja. Well, emang gak seburuk yang keliatannya sih, tapi gue bersyukur masih dikasih kesempatan nafas dan terbebas dari Faresta. Iya. Gue pengen bilang gitu, cuma gue gak bisa. Bahkan buat ngeluarin suara sepatah katapun rasanya susah. Gue udah gak punya cukup tenaga lagi, udah habis tanpa sisa.

"Maafkan aku, Dear. Maaf. Maaf karna aku tak bisa menjagamu dengan baik. Maafkan aku." Dia terus ngulang, bikin dada gue rasanya bertambah sesek lagi. Richard berkali-kali ngecup kening gue, ngebisik kalo gue harus sabar nunggu sampai Tabib Will datang. Dia natap penuh harap. "Semua akan baik-baik saja, Dear. Aku tak akan pernah meninggalkanmu, tak akan lagi. Aku bersumpah."

"Ri... Chard...."

"Dan aku bersumpah akan menghukum dia yang telah menyakitimu, Dear. Tak akan kuberikan dia pengampunan sedikitpun meskipun leluhur memintaku."

Kilat penuh amarah serta dendam yang nyampur sama penyesalan itu bisa gue lihat jelas di dalam matanya, bahkan gigi-gigi ratanya saling bergemeletuk nimbulin bunyi. Dia marah, dia murka. Gue belum pernah ngeliat dia semarah ini. "Aku akan memberikan hukum yang setimpal untuknya."

Meskipun dalam keadaan marah, tapi dia bener-bener nepatin janji buat gak ninggalin gue. Bahkan sampai Tabib Will datangpun dia gak sedikitpun menjauh dari gue, tetep nemenin gue dan berusaha ngebuat gue tetep sadar walaupun rasanya kelopak mata gue makin lama semakin berat dan gue gak tahan lagi.

"Ijinkan hamba menghentikan pendarahannya terlebih dahulu, Yang Mulia."

"Jika kau tak bisa menyelamatkan keduanya, setidaknya selamatkan Ratuku."

Samar, gue ngedenger mereka ngomong.

"Ba-bayi kita... dia baik-baik sa-saja kan?"

Entah suara gue yang terlalu kecil, atau memang mereka sengaja gak mau jawab. Richard cuma natapin gue sambil ngeratin genggaman tangan, ngusap puncak kepala gue sambil sesekali dikecupnya penuh cinta. Tabib Will juga gak banyak omong, dia berkutat dengan alat yang dia bawa sampai akhirnya gue mulai gak lagi bisa nahan kesadaran.

Semuanya, berubah gelap.

--tbc.

Apasiii ini 😭

Akutu sengaja ngebuat Baekhyun ada perlawanan, karna sejak awal kan karakter Baekhyun di sini cukup kuat. Agak bar-bar. Dan lagi, meski uke kan dia basicnya cowok, jadi pengen dia ada pelawanan sampai titik darah penghabisan. Gamau dia nyerah gitu aja.

Dan,

Maap kutak bisa lebih panjang dari ini karna suasana hatiku lagi gak terlalu baguus jugaa. Tadinya mau kuupdate ini malming, tapi rasanya kutak mau kalian nunggu lama lagi apalagi udah dua minggu kemarin daku gak update huhu. Jadi, semoga work ini gak terlalu ngecewain. Agak kurang pede sama chapter yang ini, entah kenapa ngerasa kurang aja gitu.

Gapapa kan aku kasih konflik dikit? dikit lagi... kira-kira masih hidup gak ya bayinya? Dan si Fares sebenernya kenapa ya? Penasaran gak?

Voment? Terima kasih banyaaak😘❤

raja chanyeol •chanbaek• [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang