Rev 4

5.8K 188 7
                                    

Sejak malam dimana aku dan Lesya saling berkirim pesan, aku merasa menjadi sangat dekat dengannya. Aku bahkan tahu apa warna kesukaannya, makanan favoritnya, apa hobinya dan hal-hal lain tentangnya. Aku malu mengakuinya tapi ya.. Aku menikmatinya. Aku menikmati setiap kedekatan kami.

Hari ini seperti biasa, aku terjaga di pagi hari dengan senyum Mama yang menantiku. Tapi ada yang berbeda. Ya, hari ini Lesya resmi pindah ke Bandung. Berita terakhir yang ku dengar dari Nando, Lesya akan tinggal di rumah Tantenya selama berkuliah disini. Sehari sebelum ia pindah, ia berjanji kepadaku untuk mengunjungiku dan Nando. Aku berharap ia tak melupakan janjinya.

“Rev!”. Seru Nando di balik pintu ruang karyawan. Ia melangkah mendekatiku yang tengah duduk di kasir. Siang itu swalayan sedang sepi.

“Jadi gimana?”. Tanyanya yang membuatku bingung.

“Maksud lo? Gimana apanya?”.

“Yah. Lo kok nggak peka banget?”. Aku makin bingung. “Lesya ‘kan pindahan hari ini”. Sambungnya.

“Terus?”. Nando malah menjitak kepalaku dengan nafsunya. Aku meringis namun nampaknya ia tak merespon sama sekali.

“Lo beli hadiah apa kek gitu buat di kasih sama dia. Dimana-mana kalau cowok lagi PDKT sama cewek, dia harus romantis se-romantis yang dia bisa!”.

“Tapi gue, kan, cewek?”. Nando memasang wajah kesal. Menjambak rambutnya sendiri lantas memukul-mukul meja kasir. Aku masih bingung. Ada apa? Kenapa? Apa yang salah?

“Iyaaaa. Rev.. Lo cewek. Tapi kasusnya, lo suka sama Lesya. Benar, kan?”.

“Mm.. Gue nggak tahu harus jawab apa, sih”. Kataku polos dan lagi.. Nando nampak makin kesal padaku.

“Ya udah! Lo cukup ngelakuin apa yang gue bilang. Sehabis kerja, lo pergi ke toko hadiah terus beliin Lesya hadiah. Boneka kek. Kalung kek, cincin atau apa pokoknya terserah lo. Paham?”. Aku menggangguk dan Nando nampak puas dengan jawabanku.

“Lesya nyampe Bandung jam 8 malem. Lo udah minta izin buat pulang cepet, kan, sama Si Bos?”. Tanya Nando memastikan. Takut kalau-kalau aku teledor.

“Iya. Lo tenang aja. Gue udah atur semuanya”.

            Aku memang berkata bahwa aku sudah mengatur segalanya. Bahwa aku sudah siap bertemu Lesya malam ini tapi jujur.. Aku bahkan tidak percaya dengan diriku sendiri. Apa aku dapat bertahan? Apa aku takkan gugup? Apa aku tidak akan melakukan kesalahan di depan Lesya?

Sama seperti titah Nando. Seusai kerja, aku bergegas menuju toko hadiah. Memilih beberapa benda yang mungkin akan ku beli untuk Lesya. Aku ingin membuat kesan pertama yang indah. Membuatnya untuk tidak menyesal telah mengenalku.

“Ya udah, Mba. Ini aja”. Kataku kemudian menyodorkan uang seratus ribuan kepada pemilik toko. Aku masih tidak yakin dengan pilihanku tapi aku berharap bahwa inilah yang terbaik.

            Ku lirik arlojiku. Tepat pukul 08.00, aku berdiri di taman yang tak jauh dari rumah Tante Lesya. Aku dan Lesya sudah janjian terlebih dahulu. Ia ingin bertemu disini dengan alasan ia belum hapal jalan-jalan kota Bandung.

Tak lama kemudian, aku seperti sedang bernostalgia. Melihat sosok gadis cantik dari jauh. Berbalut pakaian biru tua dengan sepatu flat berwarna senada. Rambutnya ia biarkan terurai. Tertiup angin malam nan anggun. Sedetik kemudian, aku kembali tersadar. Lesya sudah berdiri di hadapanku sembari menyungginggkan senyum manisnya.

“Hai, Kak Rev”. Sapanya lembut. “Udah lama?”.

“Eh.. Hai, Sya. Nggak. Ini barusan kok”. Jawabku agak terbata-bata.

Kuremas pegangan kantung plastik berisikan hadiah untuk Lesya. Ia melirik sebentar kemudian tersenyum lagi.

“Oh ini.. Buat kamu”. Kubuka plastik berwarna pink itu dan muncullah sebuah kotak yang lumayan besar.

“Lucuuu. Makasih, ya, Kak Rev”. Ia menyambutnya dengan girang. Aku puas.

“Buka, Sya”. Jantungku rasanya mau copot. Ini pertama kalinya aku memberi hadiah kepada seseorang terkecuali Mama dan Nando. Aku takut kalau Lesya tak menyukainya.

“Wah, lucu banget! Aku memang suka panda!”. Ia berseru dan menimang-nimang boneka panda berukuran sedang yang baru saja kuberikan untuknya. Panda itu tengah memegang sebuah hati bertombol kecil di ujungnya.

“Tekan tombolnya, Sya”. Ia menuruti kata-kataku dan perlahan hati Panda itupun terbuka. Terlihat sebuah cermin dengan bentuk yang sama sedang mengarah ke wajah cantik Lesya. Ia tertegun. Entah terharu atau tak mengerti.

“Cermin?”. Tanyanya dengan tampang heran.

“Iya. Kenapa cermin? Supaya kamu tahu hanya ada satu orang yang bisa memiliki hati itu yaitu kamu. Kamu yang lagi bercermin tepat di hati panda itu”. Jelasku.

            Lesya memandangiku seakan mengatakan kenapa-kamu-romantis-banget dan aku hanya bisa diam.

Ini kali pertamaku dan kurasa ini berhasil. Terbukti dengan terbungkamnya mulut Lesya dan tergantikan oleh senyumnya yang indah. Membuatku betah berlama-lama menghabiskan malam dengannya. Kepindahannya sama sekali tak membuatku menyesal. Aku justru senang.

Bangku taman menjadi bukti konkrit momen indah malam ini. Lesya memeluk boneka panda itu dengan erat. Memangkunya dengan manja. Sesekali mengelusnya dengan mesra. Bintang malam ini terlalu indah. Berhamburan disana-sini dan bersinar dengan terangnya. Tak ada yang memulai untuk membuka pembicaraan. Bahasa tubuh telah berbicara sedari tadi.

“Jadi kapan kamu mulai kuliah?”. Tanyaku memecah keheningan.

“Seminggu lagi”. Jawabnya singkat. “Oh iya, Kak Nando gimana? Kakak kerja di tempat yang sama, kan?”.

“Iya. Dia baik-baik aja, kok”. Kulirik ia sekilas dan dibalasnya dengan senyuman.

“Hm. Kak Rev disini tinggal sama siapa?”. Tanyanya.

Aku berbalik menatapnya.

“Aku tinggal sama Mama di rumah kontrakan kami. Hanya berdua sedari aku kecil”. Jawabku sekenanya.

“Dari kecil? Papa Kak Rev kemana?”. Sedetik kemudian aku langsung membeku. Lesya menohokku dengan pertanyaan yang sama sekali tak ingin kujawab. Yang sampai mati ingin selalu ku pendam.

“Nggak papa. Aku lagi nggak mau ngomongin tentang itu, Sya”.

Lesya tertegun. Heran, mungkin. Tapi nampaknya ia mengerti. Ia langsung mengganti topik pembicaraan tentang bagaimana kesan pertamanya mengenalku di Jakarta beberapa minggu lalu.

            Satu jam berlalu namun aku belum merasa bosan. Lesya terlalu asyik di ajak ngobrol. Ia ceria. Suara tawanya lucu. Ia selalu manis meski sedang tertawa terbahak-bahak. Tak banyak gadis cantik yang selalu ingin berusaha menjaga image mereka. Tapi Lesya berbeda.

Malam itu, kami berpisah dengan ucapan selamat malam dari bibir kami.

Ia berjalan menuju rumah Tantenya dengan riang. Memeluk erat boneka panda yang kuberikan lantas bersenandung dengan indahnya. Entahlah. ia tak kekanak-kanakan. Ia hanya terlalu manis dan terlalu lugu untuk orang sepertiku.

Tapi tunggu.. Apakah kita sebatas teman? Apa ia tak punya perasaan lebih? Apa aku hanya ia anggap sebagai Kakak layaknya Nando?

Ah, aku tidak tahu.

Jika Aku LesbianOnde as histórias ganham vida. Descobre agora