Rev 10

3.8K 145 8
                                    

Aku tersenyum kecut. Lesya makin membawa kepalanya jauh ke bawah. Sudah kuduga akan begini hasilnya.

"Aku tahu kamu belum siap. Lagian, itu hal paling gila yang pernah keluar dari bibirku". Jelasku.

Lesya menatap mataku. Seakan berkata bisakah-aku-mikir-dulu.

"Maaf ya, Sya. Aku bikin kamu pusing".

"Nggak kok, Kak Rev. Aku nggak pusing, aku cuma bingung aja. Kalau boleh jujur, aku juga ngerasa hal yang sama seperti yang Kak Rev rasa. Tapi..". Ucapannya menggantung. Membuatku gemas meminta ia teruskan.

"Aku nggak siap di pandang aneh bahkan sebelah mata sama orang-orang di luar sana".

Lesya menohokku dengan pernyataannya yang sama sekali tak ingin kudengar. Pernyataan yang dulu sangat kutakuti. Bahkan membuatku mengucilkan diri dari masyarakat hanya karena aku berbeda dari mereka.

"Kak?". Lesya membuyarkan pikiranku.

"Aku.. Aku mungkin nggak bisa membawa kamu ke duniaku yang bahkan kamu sendiri takut untuk masuk kedalamnya. Aku bisa jadi orang yang jahat, Sya".

Lesya mengernyitkan dahinya. Matanya mulai berkaca-kaca. Ada sorot mata menyesal bercampur khawatir disana. Mungkin batin dan hatinya sedang beradu.

"Ya, udah. Jangan nangis, ya". Aku mendekati Lesya yang duduk di tepi sofa lantas menghapus bulir air matanya yang sudah bebas meluncur dari pipi mulusnya. Wajahnya memerah.

"Untuk saat ini, baiknya kamu pulang dulu. Nanti kabari aku kalau kamu ingin. Aku nggak maksa kamu untuk say yes dengan ucapanku. Itu hak kamu kok, Sya".

Bukannnya beranjak, Lesya malah meraih tanganku yang sibuk menghapus air matanya. Aku tertegun sekaligus heran.

"Maaf.. Aku juga sayang Kak Rev".

Sedetik kemudian, kurasa sesuatu menindih bibirku. Saat aku kembali ke dunia, baru kusadar bahwa bibir Lesya sudah menyentuh bibirku. Singkat tapi pasti. Lesya langsung menundukkan kepalanya sambil terisak. Aku masih tertegun dengan mata setengah membelalak. Kaget.

"Maaf.. Aku..".

"Ssstttt! Berhenti bilang maaf, Sya. Kamu nggak salah apa-apa". Kataku lantas menarikya ke pelukanku. Rasa-rasanya demamku sirna seketika. Ada senyum yang terukir di sela-sela isakan Lesya. Ia mengeratkan pelukannya padaku seakan ini adalah hari paling bahagianya.

Hari sudah sore saat aku membuka mata. Pandanganku menyebar ke seluruh ruangan. Ah, aku seperti tidur selama bertahun-tahun. Kupegangi dahiku yang nampaknya sudah tidak hangat lagi. Akupun bangun dan terduduk di sofa dengan nyawa setengah melayang.

Mataku terpaut pada secarik sticky note yang tertempel tepat di gelas putih berisikan air.

Biarpun udah mendingan,

obatnya tetap di minum, ya, Kak.

Seutas senyum tersungging di bibirku. Memori indah beberapa waktu lalu mulai terputar di kepalaku tanpa di perintah. Kusentuh bibirku yang rasanya kaku. Ah, itu bukan mimpi 'kan? Kupandangi kembali pesan Lesya. Ya, nampaknya memang bukan mimpi.

"Lho? Mama belum pulang?". Gumamku saat berajak ke dapur untuk mengambil camilan. Apartemen yang kosong tanpa kehadiran Mama membuatku merasa kesepian.

Tumben Mama tak ada di rumah dalam waktu yang lama. Ada arisankah? Atau urusan bisnis? Kutepis rasa ingin tahuku kemudian mulai membereskan seisi rumah yang nampak berantakan. Sakit memang bikin repot.

****

"San, tolong bawain file dari Pak Harjo yang kemarin nggak sempet saya cek, ya. Taruh aja di meja, saya mau keluar sebentar". Kataku pada Sana yang di balasnya dengan anggukan.

Jika Aku LesbianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang