Rev 11

2.6K 117 8
                                    


"Revinna.. Ibu disini, nak".

"Ibu ada disini. Kenapa kamu nggak bisa berjalan kemari? Gapai Ibu, nak".

"Revinna.."

"Reviiiiii.. Aaaaa"

"Ibuuuu!!!!!!!".

Aku terbangun kaget dengan keringat dingin di sekujur tubuhku. Entah sudah berapa kali Ibu masuk ke dalam mimpiku. Menyisakan tanda tanya bagiku. Suara Ibu begitu lemah dan sedih seakan ialah satu-satunya orang yang tersisa di muka bumi. Tapi tiap kali kucari, Ibu menghilang. Dan hari ini adalah yang paling parah karena tak sekalipun kudapati Ibu di mimpiku. Hanya suara. Hanya suaranya yang meronta memanggil-manggil namaku dalam sendu.

Kukerjapkan mataku berulang-ulang. Ah, aku belum siap untuk melalui hari baru. Kuraih handphone-ku yang kugeletakkan asal di meja semalam. Jariku tengah sibuk mengetik pesan singkat untuk Lesya.

Pagi, Sya.

Maaf kemarin kerjaan di kantor banyak banget.

Jadi aku gak sempet ngabarin kamu. Tidurmu nyenyak?

Hari ini biar aku jemput di kampus, ya.

Usai mandi dan bersiap-siap, aku tidak langsung keluar kamar. Aku tahu Mama akan menungguku untuk menyelesaikan hal yang sama sekali tak ingin kuselesaikan. Aku tak ada niat untuk masuk kantor. Aku bahkan tidak memakai seragam, sebaliknya, aku malah memakai kaos oblong lengkap dengan jaket abu-abu favoritku.

Lima menit kemudian, kuberanikan diriku untuk keluar dari kamar. Kubuka pintu sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara dan menengok ke kiri dan ke kanan. Tak ada Mama. Yang kulihat hanyalah secangkir teh hijau hangat dengan sticky note yang bertengger di tepi gelas.

Mama tahu kamu pasti shock.

Hari ini nggak usah masuk kantor. Mama bisa gantiin kamu.

Sebagai gantinya, pergilah jalan-jalan dan refresh otak kamu.

Mama sayang kamu, Vi.

Bagaimana bisa Mama tahu kalau hari ini aku tidak ingin ke kantor? Terlalu nampakkah raut wajahku?

Kuteguk teh hijau yang Mama buatkan untukku sembari mengecek handphone-ku. Tak ada balasan dari Lesya. Apakah ia sudah berangkat? Aku melesat keluar dari apartemen dan menyalakan mesin mobil berwarna merah marun kepunyaanku. Ah, rasanya sudah lama semenjak terakhir kali ku injakkan kakiku di pedal gasnya. Persembunyianku dan Mama membuatku hiatus untuk berkendara. Sekarang aku tahu betapa nikmatnya mengendarai mobil sendiri.

Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi saat aku tengah memarkirkan mobilku ke parkiran swalayan. Mataku sibuk mencari Nando di dari balik pintu kaca. Aku sama sekali tak menemukan keberadaan sepeda motornya, hanya ada Maya dan Rena yang sibuk bergosip di depan kasir. Ah, sungguh aku malas sekali untuk masuk lantas di sambut dengan ribuan kecupan serta pelukan mereka berdua.

Kulangkahkan kakiku menjauh dan masuk ke mobil. Saat kulihat Mang Danang tengah meniup peluit untukku, kubuka jendela mobil sembari memberinya uang lima ribuan.

"Mang, kumaha damang?".

Mang Danang tidak menjawab. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali.

"Lho!? Neng Rev, ya? Ya ampun! Sampai pangling saya, Neng!". Aku tertawa getir.

"Ada urusan apa, Neng? Sekarang Neng makin cantik, euy. Rambutnya juga beda. Kuning-kuning gimana gitu hehehe". Mang Danang terkekeh dengan banyolannya sendiri.

Jika Aku LesbianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang