Rev 3

6.7K 199 9
                                    

Aku berada di tengah kolam yang luas. Entahlah. Kolam apa ini? Aku juga tak mengerti.

Aku berusaha mencari dimana tepi kolam ini, berniat untuk naik ke tepian. Nihil. Tak ada tepinya! Sebenarnya dimana aku? Mengapa semuanya aneh?

Saat aku tengah kebingungan, nampak sosok wanita yang muncul dari dasar kolam. Kupandangi ia inci demi inci. Seiring detik berlalu, sosok wanita itupun menyerupai seseorang yang ku kenal. Itu.. Ibu? Mengapa ia disini?

Kucoba untuk menggapai Ibu namun tak sampai jua. Semakin aku melangkah untuk merengkuhnya, semakin Ibu menjauh. Ada apa ini?

“Ibuuuuuuu!!”. Seruku. Ibu tetap mengacuhkanku. Mengacuhkan lenganku yang ingin sekali memeluknya erat. Lambat laun, Ibu berubah menjadi seberkas cahaya putih dan menghilang.

Ayah datang menggantikannya. Wajahku masam. Ayah berdiri tegap, menatapku tajam. Aku berjalan mundur sedang Ayah terus mengejarku. Dan bruuukkkk..

“Aww”. Ku pegangi bokongku. “Ya, hanya mimpi. Semuanya mimpi, Rev”. Kataku pada diriku sendiri lantas berdiri menggapai tepian kasur. Baiklah, ku akui ini sangat sakit.

            Mimpi aneh mengawali hariku. Setelah mandi dan berpakaian rapi, akupun bergegas menuju dapur. Nampak Mama sedang menyuap nasi ke dalam mulutnya. Ia tesenyum ketika melihatku hendak menghampirinya.

“Nggak sarapan dulu, Vi?”

“Maaf, Ma. Revi buru-buru. Hari ini ada barang masuk, jadi harus datang pagi”. Kataku seraya menuangkan air ke dalam gelas.

“Mama makan yang banyak, ya! Revi pamit dulu”.

Mungkin karena ini adalah musim penghujan, aku selalu keluar menggunakan pakaian tebal. Entahlah. Aku tidak terlalu memedulikan fashion. Aku selalu bepergian dengan kaos, celana jeans panjang serta sepatu. Tapi hal yang membingungkan adalah meski aku keluar rumah dengan dandanan yang berantakan, masih banyak perempuan yang melirikku. Aneh. Sangat aneh.

            Belum selesai perbicanganku bersama hati kecilku, Nando sudah menghadangku tepat di depan pintu swalayan. Memasang senyum se-imut mungkin lantas sesekali menaikkan alisnya. Aku melihatnya dengan tatapan apa-kamu-salah-makan-pagi-ini.

“Ada berita bagus!”. Serunya hingga hampir seluruh karyawan menoleh ke arah kami.

“Apa? Sebegitu bagusnya ‘kah sampai lo harus menghalagi jalan gue satu-satunya?”. Tanyaku sinis yang dibalasnya dengan senyuman tolol.

Aku menerobosnya masuk. Melepaskan jaket tebalku di atas meja kemudian memakai kemeja khusus karyawan swalayan. Nando masih tersenyum bak baru menang kontes kecantikan. Kuputar kedua bola mataku dan kembali fokus padanya.

“Apa lagi?”. Tanyaku malas.

“Berita bagus!”. Lagi. Ia kembali berseru kencang.

“Iya, Nan. Tapi apanya yang bagus?”.

“Lesya minta nomer Hp lo!”. Gludukkk! Bagai ada petir di siang bolong, aku tertegun mendengar perkataan Nando. Beberapa kali ku cubit pipiku, berharap ini bukanlah mimpi.

“Lo serius?”. Tanyaku memastikan dengan hati-hati. Jangan sampai masuk jebakan Nando.

“Masa gue tega ngebohongin lo?”. Nando balik bertanya. Ia merogoh sakunya dan mengambil handphone. Menekan keypadnya dengan tidak sabaran.

“Nih!”. Nando menyodorkanku handphone-nya dengan menu SMS di layarnya..

Kak, bagi nomer Kak Rev dooooong!

Habis, manis banget!

Lesya.

            Aku menelan ludah. Bergantian melihat SMS Lesya dan Nando. Apa aku harus bahagia atau harus sedih?

Nando memasang wajah jahil. Di pukulnya bahuku pelan sambil tertawa-tawa kecil.

“Lo udah makin populer aja. Cewek manis kayak Lesya bisa lo bikin melted”. Guraunya kemudian berlalu menuju kasir.

Aku masih terdiam. Tak tahu harus berbuat apa. Masa iya Lesya menyukaiku? Tapi tunggu.. Tadi dia bilang manis, ‘kan? Ah.. Baginya aku sekedar manis. Bukan tampan. Ya, hanya manis. Aku tak tahu ungkapan apa yang biasanya di ucapkan seorang gadis saat menilai lelaki. Tapi yang kutahu, manis adalah kata-kata untuk perempuan. Bukan lelaki. Ya, meski aku perempuan yang berwujud lelaki.

            Kegelisahanku memuncak setelah pintu-pintu harmonika swalayan tertutup dan Nando kembali menggodaku dengan SMS Lesya yang belum ia balas. Ingin rasanya kulayangkan tinjuku ke wajah tampan Nando saking bingungnya, tapi tak kulakukan mengingat aku masih membutuhkannya untuk berkomunikasi dengan Lesya.

“Jadi.. Lo udah bales SMS-nya?”. Tanyaku pura-pura tak tahu. Nando menatapku sedang karyawan lain mulai berhamburan satu-persatu.

“Lo mau gue bales apa? Gue kirimin nomer lo atau nggak, nih?”.

“Iya!”. Jawabku spontan dan sedetik kemudian aku menyesalinya. Sekarang, aku mungkin nampak murahan di mata Nando.

“Hahahaha. Udah gue duga, nih. Lo pasti suka, ‘kan, sama Lesya?”. Pertanyaan Nando seakan menonjokku tepat di hidungku. Membuatku K.O dengan satu pukulan.

“Ah, nggak juga”. Jawabku kikuk.

“Nggak juga? Berarti kemungkinan iya 75% persen dong? Hahaha. Jangan bohong, Rev. Kita udah temenan dari kecil. Gue udah tahu lo orangnya kayak gimana. Kalau lagi bohong, pasti tangan lo nggak bisa diem”.

Refleks kulirik jariku yang mulai nakal keluar masuk saku celanaku. Ya, aku terlalu nampak.

“Ya udah. Gue bales, nih”. Nando menekan keypad-keypad handphone-nya. Mulai mengetik SMS balasan untuk Lesya.

“Udah! Tunggu aja dia nge-SMS-in lo”. Katanya santai sambil menepuk bahuku. Aku hanya bisa diam melihat ulah jahilnya. Toh, tak ada ruginya ‘kan, untukku?

            Malam ini terasa sangat dingin di banding malam sebelumnya. Memaksaku masuk ke dalam selimut lebih awal. Mama nampak asyik menonton TV saat aku berpamitan untuk tidur lebih awal.

Ku pandangi layar handphone-ku. Belum ada tanda-tanda SMS dari Lesya. Aku tahu dia takkan pernah mengirimiku SMS. Dengan rasa sedikit kecewa, kutenggelamkan wajahku di bantal.

Drrttttt.. Dddrrrtttt..

Handphone-ku bergetar dan dengan cepat kulihat layarnya yang bertuliskan 1 Message Received. Dengan harap-harap cemas, akupun membuka pesan itu.

Malam. Kak Revi, ya?

Ini Lesya, hehe. Maaf ganggu.

Udah tidur?

 

1 pesan yang singkat namun sangat berarti. Aku menimang-nimang handphone-ku sebelum akhirnya memutuskan untuk membalas SMS Lesya. Kamipun saling mengirim pesan hingga tak kusadari bahwa jam sudah menunjukkan pukul 12 malam.

Aku terlalu menikmati momen ini. Rasanya sudah lama sejak aku merasa benar-benar senang. Entahlah. Bibirku terus berkata tidak ketika Nando bertanya apakah aku menyukai Lesya tapi hatiku tak bisa bohong kalau aku merasa sangat menyukai sosok Lesya. Gadis manis dengan tangan yang halus.

Minggu depan aku pindah ke Bandung.

Mau lanjut kuliah disana.

Sampai ketemu disana, ya, Kak Rev!

            Pesan terakhir Lesya berhasil membuat jantungku nyaris terhenti. Mulutku sedikit mengaga saking terkejutnya. Apa benar Lesya akan pindah ke Bandung? Maksudku.. Hey, kita akan sering bertemu! Terlebih Lesya adalah adik Nando yang berarti ia akan dekat denganku. Sungguh, aku akan segera gila. Ya, aku akan gila. 

Jika Aku LesbianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang