6. Malam Itu

213 52 13
                                    

Desember, 2018

Sabtu siang di minggu pertama bulan Desember sama seperti biasanya. Aruna masih rutin membukakan pintu untuk pacarnya setiap weekend. Seperti sekarang, dengan langkah terburu-buru dia menuruni tangga dan menuju ruang tamu menemui Linggar yang sudah menekan bel rumah sedari tadi.

Pintu terbuka dan disana Linggar berdiri menampakan senyumnya dengan kedua kantong plastik penuh di keduanya, "He, kamu bawa apa aja ini banyak banget?"

"Tadi kamu bilang pengen seblak, aku bawain dari Bandung tapi udah nggak dingin. Jadi harus di panasin dulu," Jawabnya sambil melewati pintu.

"Loh aku kan udah bilang nggak usah tadi, soalnya udah dibeliin Aksa."

"Yaudah nggak papa, kan bisa dimakan mbak kamu."

Aruna mengikuti langkah kaki Linggar, melihatnya menaruh dua kantong plastik tersebut di atas meja dapur. Dia pun duduk di salah satu kursi disana, melihat pacarnya mulai mengeluarkan isi dalam kantong plastik.

"Mama kamu masih lama kan di Jogja, ini bahan makanan jangan lupa dipake. Suruh mbakmu yang masak kalau aku nggak ada, ajak juga itu si Garen sama Dewa. Aku beli banyak ini," Dari berbagai macam sayur sampai bumbu dapur terpampang di meja makan, dengan sisa-sia kepekaan Aruna yang sebenarnya hanya menonton saja sejak tadi, dia mulai membawa satu persatu bahan tersebut dan dimasukkannya di kulkas.

Seblak yang sudah dingin itu, Aruna masak kembali agar hangat dan bisa diberikannya kepada Dewa, karena kakaknya sudah pasti tidak mau dikarenakan diet sehat yang dilakukkannya satu bulan terakhir.

"Kamu belum sarapan, kan?"

"Udah tadi sama seblak."

"Itu namanya bukan sarapan, tapi nyari gara-gara sama aku."

"Terus kamu ngapain beliin aku seblak?"

Linggar menolehkan wajahnya, pisau yang dia gunakan untuk memotong bawang putih ditaruhnya sebentar. Menatap Aruna sangat intens, menunggu perempuan tersebut menyadari kesalahannya.

"Iya iya nggak makan seblak lagi, udah sana lanjutin dulu masak nasi gorengnya. Aku mau anterin seblaknya ke Dewa."

"Jangan iya-iya terus, mama kamu nitip ke aku loh."

"Bawel," Aruna berlalu dari sana sambil membawa semangkok seblak yang mengepul setelah dia panaskan tadi. Langkah kakinya menuju anak tangga pertama terhenti ketika Linggar memanggilnya kembali.

"Na, lewat pintu depan aja. Jangan dibiasain lewat kamar Garen."

"Deketan lewat sini ih, lagian kamar Dewa juga ada di lantai dua." Jawab Aruna yang tidak setuju dengan protes dari pacarnya tersebut.

"Nggak sopan, ayo lewat bawah aja."

Aruna mengerucutkan bibirnya kesal, dengan langkah panjang dia berjalan melewati dapur dan berlalu dari sana untuk mengantarkan makanan secara normal. Selama perjalanannya ke rumah Garen, dia masih menggerutu karena kebiasaan Linggar yang sering menyuruhnya menuruti aturan-aturan yang normal dan jarang sekali dilakukannya ketika tidak ada pacarnya tersebut.

"Dewaaa!" Aruna meneriaki nama adik Garen tersebut dengan keras. Sangat tidak sopan, untung saja orang tua mereka tidak ada dirumah.

Dan setelah teriakan ketiga, pintu terbuka. Tapi bukan wajah Dewa yang ada dihadapannya melainkan Garen dengan wajah kesal, "Nggak usah teriak-teriak kenapa sih, lewat kamar gua kan bisa, ngapain juga repot-repot nunggu dibukain biasanya lo masuk rumah gua udah kayak penggrebekan," Sambutan yang cukup untuk Aruna.

"Gua siram juga nih lo ye," sahut Aruna sambil sedikit melayangkan mangkuk panas yang dia pegang dengan kedua tangannya. Tanpa menunggu persetujuan sang tuan rumah terlebih dahulu, Aruna segera masuk dan menaiki tangga menuju kamar Dewa. Pintu kamarnya terbuka, jadi Aruna tidak perlu repot-repot berteriak atau menendang pintu tersebut dengan brutal.

Kita [ WENYEOL ]Where stories live. Discover now