25 | Titik Awal [END]

Start from the beginning
                                    

          Semburat senja turut merangsek masuk ke dalam. Sinarnya menerangi senyum Luksita yang terduduk di atas ranjang dengan berselimutkan sutra putih. Kerutan memenuhi wajah, disertai juntaian uban yang jatuh ke dahi, tetapi tak dapat menghilangkan cantik wajahnya.

          Karen terdiam di ambang pintu, tertegun. Tubuh sang nenek sudah kembali normal. Tidak ada kristal-kristal berbau timah lagi yang menempel di sana. Tidak ada tubuh lemah yang terbaring tanpa bisa merespon kedatangannya sedikit pun. Sekarang, sang nenek bisa melihatnya, menyambutnya, bahkan tersenyum padanya. Untuk sesaat Karen seperti berada dalam mimpi.

          Apakah ini mimpi?

          "Kamu sudah kembali, cucuku tersayang ...?" Luksita berujar lemah, tapi tak menyurutkan senyum itu. Ia angkat kedua tangan untuk menyambut Karen dalam pelukan. "Kemari, Nak ...."

          Bersamaan dengan turunnya air dari sudut-sudut mata, Karen berlari, menghamburkan diri ke dalam pelukan neneknya. Ia menangis tersedu. Ia buncahkan segala emosi dalam rintihan menyayat itu. Semua yang ia jalani begitu panjang dan amat melelahkan. 

          Luksita membelai lembut rambut Karen. Dalam ratapan ini, ia turut merasakan betapa dalamnya kesedihan yang gadis itu alami.

***

          Waktu-waktu terlewati dengan begitu cepat. Suasana Lamahang kembali dihidupkan dengan kegiatan-kegiatan positif seperti perdagangan, pembangunan kota, bahkan sudah ada kegiatan belajar-mengajar yang dimulai dari jenjang taman kanak-kanak. Meski banyak rumah serta gedung yang belum selesai diperbaiki, kegiatan mereka tetap berjalan dengan sangat baik. Perlahan-lahan Lamahang kembali seperti dulu, kembali seperti sebelum wabah mengancam mereka. 

          Blok IV kini jadi lokasi jual-beli yang ramai dikunjungi. Tidak hanya pedagang serta pembeli, para pelaku atraksi pun turut andil memenuhi wilayah tersebut. Sesekali disediakan panggung untuk pertunjukan khusus. 

          Karen dan Luksita terlihat menenteng keranjang saat memasuki wilayah itu. Mereka berjalan bersisian. Lengan Karen menggamit sang nenek, seakan khawatir terpisah jarak.

          "Jadi ... teman kamu itu ternyata gadis pilihan, ya?" tanya Luksita setelah Karen bercerita tentang Irene.

          "Aku sempat bingung kenapa dia tiba-tiba bilang kalau dia punya potensi untuk menyelamatkan negara kita. Padahal sebelumnya, setauku, dia sama sekali bukan tipe pemberani yang mau berhadapan dengan musuh." Karen mengamati kerikil di sepanjang jalan, menendang-nendang kecil saat ia lewati. "Mungkin karena ada intuisi yang menguatkan mental dan batinnya. Soalnya, begitu kami tau dia seorang cyboarg, dia juga baru tau itu. Dan kelihatan syok berat."

          Luksita mendesah prihatin. "Kasihan anak itu. Dia betul-betul seorang pejuang sejati. Pasti orang tua angkatnya sangat sayang padanya, dan begitu sedih ketika tahu anak itu gugur dalam peperangan."

          Karen merunduk, teringat akan bagaimana perjuangan Irene saat melawan Theo sementara ia tak mampu membantu. "Iya, gadis yang dianggap lemah itu ternyata penyelamat kita."

          Langkah Luksita terhenti, diikuti Karen. Ia mendongak dan menggenggam wajah gadis itu. "Kamu juga sudah berjuang menyelamatkan kita semua. Kamu gadis paling hebat. Kamu, Karenina Zeraficka, adalah penghargaan terindah dalam kehidupan nenek. Nenek begitu bangga bisa memiliki cucu seperti kamu."

          Kehangatan ini meruntuhkan pertahanan Karen. Ia mengulum bibir dan berkedip beberapa kali, menahan air mata agar tidak jatuh. 

          "Terima kasih," ujarnya parau sembari menunduk dalam. "Terima kasih sudah menjadi nenekku."

          Luksita terkekeh-kekeh kecil demi mencairkan suasana. Ia tepuk-tepuk pelan pundak Karen. "Yuk, kita jalan lagi." 

          Karen mengelap air yang sempat turun dari sudut mata, lalu mengangguk dan tersenyum. Dua langkah terlewati, mereka melihat banyak orang berlarian ke arah dalam. Bersamaan dengan itu, senandung merdu terdengar, mengalihkan perhatian beberapa pengunjung dari negosiasi. Karen dan Luksita saling tatap. Lantas mereka mengekori rombongan yang tengah tergopoh-gopoh.

          Lantunan lagu makin jelas terdengar setelah mereka mencapai sumber suara itu. Penonton memenuhi kursi yang disediakan di hadapan panggung, bahkan banyak yang rela berdiri. Mereka turut menyenandungkan lagu yang terdengar asing di telinga Karen, seperti berasal dari abad 21, dengan genjrengan gitar serta pukulan drum yang mendominasi.

          Karen yang berada di posisi paling belakang, sedikit memberi jarak dari kerumunan—khawatir neneknya terhimpit—berjinjit demi melihat dengan jelas siapa yang bernyanyi di atas panggung sana. 

          Tak terbayangkan sebelumnya
          Aku 'kan terjatuh begitu dalam
          Sedalam ini, sesakit ini
          Hingga ku tak bisa menangis lagi

          Kelopak mata Karen membulat. Orang itu. Pemuda itu. Si pemilik suara bass, dengan layered undercut yang selalu menjadi ciri khas rambutnya. Namun, saat ini potongan rambut itu sama sekali tak terlihat rapi. Ia biarkan menjuntai berantakan dan seperti tak terurus. Ray yang sekarang, tampaknya sudah tak begitu memedulikan tampilannya lagi.

          Pernahkah dirimu
          Merasakan getirku
          Pahit membawaku
          Menusuk hingga ruang jantungku

          Lirik dalam tiap lantunan Ray seperti menyuarakan isi hatinya. Sebelum mereka berpisah, Ray sempat bilang bahwa ia begitu menyayangi Irene. Karen tak tahu apa yang pernah terjadi di antara mereka. Perasaan Ray tampak begitu dalam, dan sangat terpukul setelah kehilangan Irene.

          "Setelah ini saya mau mengasingkan diri. Berkelana, entah ke mana pun sejauh langkah yang bisa saya pijaki," ujar Ray saat itu. "Terima kasih banyak untuk kerjasama kalian. Dan maaf kalau selama ini saya sudah bikin kalian kesusahan. Tolong, sampaikan maaf saya juga ke Pak Bille, dan teman-teman lain di BIU."

          Sejak saat itu mereka sudah tidak pernah berinteraksi. Senang rasanya bisa melihat Ray masih dalam keadaan sehat seperti sekarang. Sudut bibir Karen tertarik, hendak menertawai apa yang pernah terjadi di antara mereka. Kesalahpahaman. Percekcokan. Perkelahian. Sekarang semuanya sudah betul-betul berubah. Baik itu sifat Ray yang dulu arogan, ataupun kebenciannya pada pemuda itu.

          "Nak, ayo kita cari sayuran. Besok nenek mau bikin sayur bening."

          Kenangan Karen memudar. Ia menoleh dan mengangguk mantap. "Ayo."



[FIN]


KATASTROFEWhere stories live. Discover now