23 | Penyerangan

169 66 0
                                    

Para android sudah tidak berpatroli lagi di sekitaran Benteng VOC sejak Vian memberikan sinyal pemberitahuan. Vian meminta mereka untuk kembali ke pusat pertahanan Buru, dan meminta mereka memberitahukan para tentara, polisi, serta prajurit lainnya untuk bersiaga di masing-masing distrik karena ia akan mulai mengusik musuh dengan melintasi portal tak tergapai—memasuki markas musuh.

          Karen berada di barisan terdepan bertingkah selayaknya pemandu. Ia sibak daun-daun yang terjulur dari pepohonan yang menghalangi jalan. Sesekali melompat atas semak-semak yang teramat rimbun. Rocky tidak ia bawa, ia biarkan berada di Lamahang, karena akan berbahaya jika memakan tanaman palsu di Hutan Kayeli.

          Karen menengok ke belakang saat hampir tiba di Benteng VOC. Tanpa ia duga, anggota baru mereka, Irene, bisa melewati rerimbunan hutan dan menyeimbangkan kecepatan langkahnya dengan baik. Vian berada di barisan paling belakang. Sesekali ia lirik Irene untuk memastikan keadaan gadis itu.

          Tangan Irene bertumpu pada batang pohon setelah ia berada di sisi Karen. Tampak engahan pada napasnya. 

          "Kamu yakin, mau ikut kami menyusup ke markas penyihir?" Karen memberi perhatian penuh pada kondisi Irene. Tubuh yang tampak ringkih dan tak bisa melakukan perlawanan. Fisik yang lemah. 

          "Aku yakin." Irene mengangguk dengan bersemangat. Energi seakan kembali dalam dirinya. "Sangat yakin, seratus persen."

          "Apa yang bikin kamu seyakin itu?" Karen lebih terdengar seperti seorang penguji yang hendak merekrut bawahan.

          "Karena ...." Irene menggigit bibir, melirik ke satu kerikil dekat kakinya, berpikir dengan hati-hati. "Karena aku punya potensi untuk menyelamatkan negara kita." Ia ulangi perkataan yang pernah diucapkan ibunya seraya mengangkat wajah dan tersenyum, menunjukkan rasa percaya diri serta keyakinan di sana. Menyadari lawan bicaranya memberi tatapan ragu, ia teruskan ucapan agar keyakinan itu tidak hanya ada pada dirinya, tapi juga tertular pada dua orang yang akan berjuang bersamanya. "Tadi Kakak sudah ajari aku beberapa teknik pertahanan, meskipun cuma dalam waktu yang singkat. Tapi sebelum itu, aku juga sudah banyak mempejalari tentang pertahanan diri." 

          "Kurasa caramu menghindar dari serangan ataupun menyerang masih belum cukup bagus." Perkataan ini jauh lebih halus dari yang Karen pikirkan. Hasil latihan selama enam jam tadi tentu sangat sangat kurang untuk menghadapi musuh secara langsung, bagi orang yang tidak berpengalaman dalam hal pertarungan seperti Irene. Meski dikatakan sudah pernah belajar pun, tapi dari apa yang ia lihat, Irene sama sekali belum mencapai kemampuan yang ia harapkan, sama sekali belum mencapai fase siap tempur. Lagipula, memangnya berapa lama dia berlatih? Sepertinya seminggu pun kurang. 

          "Kalau dia punya keinginan dan keyakinan yang kuat," ujar Vian, berusaha mencairkan ketegangan, "nggak ada salahnya kita beri dia kesempatan. Aku juga hampir sama, Ren, nggak terbiasa hadapi pertarungan, nggak kayak kamu. Tapi kamu bisa kasih kesempatan ke aku buat melawan musuh. Kamu percaya, kalau aku bisa hadapi mereka. Selama kita punya keberanian untuk ini, punya tekad yang besar, kita janji nggak akan nyusahin kamu, Ren."

          Karen hampir-hampir menggeram. Itu nggak sama, gumamnya dalam hati. Jika dengan Vian, ia sudah kenal lama dan sudah memperkirakan kemampuan pemuda itu jauh-jauh hari. Tapi kalau dengan Irene, rasanya baru satu kali berpapasan, di kantin Gedung I bagian barat, dan saat itu Irene hendak dirundung jika tidak ditolong olehnya. Gadis yang lemah itu, tiba-tiba saja pagi ini menawarkan diri untuk turut ikut membantu menyergap ke markas musuh. Setiba-tiba itu. Mungkin ada sesuatu yang membuat keberaniannya muncul. Ada sesuatu yang membuatnya ingin turut berjuang langsung menghadapi musuh.

KATASTROFEWhere stories live. Discover now