19 | Goncang

172 72 2
                                    

Hela kelegaan lolos  dari pernapasan Irene. Masih sedikit terengah, ia atur udara yang masuk ke rongga hidung juga tempo dari detak jantung yang belum stabil.

          Ia berhasil. 

          Ia telah berhasil kabur dari para prajurit BIU yang menjaganya ketat seperti seorang tahanan. Tak pernah ia bersyukur seperti ini dengan sesuatu yang menyeramkan layaknya dentuman bom beberapa menit lalu. Karena jika tidak ada itu, ia tidak mungkin bisa lolos. Meski demikian ia tetap berharap tak terjadi sesuatu yang begitu berbahaya akibat dentuman bom itu. Ia hanya ingin terlepas dari pengawan prajurit sementara waktu ini.

          Irene membuka tudung peach, berwarna senada dengan gaun yang dikenakannya. Gaun ini hanya sebatas lutut dan bentuknya tak menyusahkan Irene untuk bergerak. Kaki rampingnya berbalut flat shoes. Ia rasa tampilan ini sudah cukup sesuai dan tak mencurigakan jika berbaur dengan yang lain. 

          Panel-panel bercahaya neon keunguan menyambut Irene di sepanjang lorong menuju pintu masuk auditorium. Samar-samar musik mengalun dari dalam. Terdengar sendu, dan terdapat sentuhan romantis secara bersamaan. Tungkai Irene sudah berada di ambang pintu. Suasana di dalam sana membuat netranya berbinar. Lembutnya cahaya biru dari lampu-lampu, panel-panel pada dinding, serta pantulannya ke lantai auditorium membuat Irene terkesima. Ruangan itu terlihat begitu megah dan indah. Para pengunjung tampak menawan dengan pakaian mereka—perpaduan antara modern dan tradisional.

          Irene melangkah ke dalam, agak ragu. Ia tak terbiasa dengan keramaian serta kemegahan seperti ini. Musik semakin jelas terdengar. Orang-orang membentuk lingkaran sebagai pembatas antara arena dansa dengan penonton. Jarak sekumpulan penonton ini cukup renggang sehingga Irene dapat menerobos tanpa mengenai tubuh mereka. Langkah Irene berhenti sebelum ia berada di barisan penonton paling depan. Ia berdiam, bersembunyi di belakang pasangan yang cukup tinggi. Sebelum menelisiki arena di depan sana, ia sempatkan diri terlebih dulu melirik bagian atas auditorium secara samar, takut sekiranya ada yang mengawasi dari lantai atas. 

          Cukup aman. Maka ia lanjutkan melihat keadaan di lantai dansa. Masing-masing pasangan menari dengan cukup baik. Ada dari kalangan mahasiswa, ada pula yang terlihat berumur seperti petinggi BIU serta tamu kenegaraan. Pancaran kebahagiaan terlihat dari wajah-wajah itu. Menari, berputar, ada yang sampai mendekati barisan Irene dan membuat penonton sekitar berseru-seru riang.

          Lalu Irene terpaku dengan pemandangan di tengah-tengah sana, tampak kontras di antara yang lain. Dua sosok yang dikenalinya. Gadis cantik nan anggun, serta pemuda tampan memesona, sedang menautkan tatapan satu sama lain dengan lengan yang bersentuhan. Mereka pasangan yang dapat membuat siapa pun terpana karena keelokan rupa itu. Mereka pasangan serasi, teramat serasi, dan dada Irene terasa sesak atas kenyataan itu. 

          Ia tersenyum miris. Bagaimana mungkin ia bisa iri? Ia sama sekali tak bisa disandingkan dengan Karen, bahkan saat berdansa dengan Ray dalam mimpinya sekali pun. Iya, Irene tidak boleh berharap lebih. Cukup sebatas mimpi saja. 

          Tampaknya rasa patah hati ini tak hanya dimiliki olehnya. Pada barisan lain dari penonton di seberang Irene, pemuda tinggi berkacamata menatap sendu pada pasangan itu. Perlu waktu bagi Irene untuk menyadari bahwa ia adalah Vian, mahasiswa bidang IPTEK yang seringkali berbicara dengan Karen. Irene cukup terkejut dengan tampilan Vian yang sangat berbeda dari biasanya. Bahkan tak kalah menawan dengan Ray. 

          Netranya melayang lagi ke pasangan yang juga sedang diperhatikan Vian. Tentu saja Karen pasti punya penggemar. Bahkan ia sendiri menyukai gadis itu. Kemudian ia menunduk, memperhatikan diri sendiri. Lantas mendesah pelan.

          Irene keluar dari barisan. Beranjak ia menuju jejeran gelas berisi air mineral dekat pilar di pojokan ruang. Baru berhasil meminum satu tegukan, rungu menangkap langkah sepatu yang terdengar familier dan membuat Irene mengejang. Sontak ia membalikkan tubuh, menutupi kepala dengan tudung, dan bergeser demi membaurkan diri dengan orang lain meski tak ia kenali. Keempat orang itu tidak menyadari dirinya karena asyik bercengkerama. 

KATASTROFEWhere stories live. Discover now