4 | Penyambutan

610 103 2
                                    

Roda mobil sport berhenti berputar, tepat di depan jalur khusus menuju pintu utama menara BIU. Pantofel hitam terlihat setelah pintu penumpang sebelah kiri terbuka sedikit, lalu laki-laki berambut klimis muncul dari sana, disusul lelaki kisaran umur 30-an dari pintu di belakangnya.

          "Selamat datang di BIU, Pak Leo." Bille merentangkan lengan disertai senyum lebar yang amat ramah menyambut tamu-tamunya. Ia begitu kenal dengan Leo, salah satu anggota dewan yang bertanggung jawab atas beberapa kawasan lindung di Kabupaten Buru.

          Lelaki berambut klimis dengan gagah menghampiri. Ia turut tersenyum senang hingga memunculkan kerutan di sekitaran kelopak mata. Ia menyalami Bille sekaligus menyapa ringan, "Apa kabar, Pak?"

          "Sangat baik." Bille tertawa hangat. "Apalagi kedatangan tamu spesial seperti kalian."

          Aura positif itu membuat Leo begitu nyaman dan senang bercengkerama dengan sang rektor. "Saya habis rapat kerjasama di Myung-Dae Corp dan tiba-tiba ingin menemui Pak Bille," ujarnya sedikit berbasa-basi, sedikit bergurau. "Kebetulan salah satu putera emas keluarga Myung-Dae juga ingin ke sini, jadi saya sekalian datang bersamanya."

          Pintu mobil sport terbuka lagi. Kali ini pemuda dengan stelan jas berwarna cokelat yang keluar dari sana. Pemuda ini terlihat begitu tinggi saat berdiri tegap. Rambut layered undercut dengan poni tipis di kedua sisi dahinya menambah kesan menawan.

          Ia merasa sedang diperhatikan. Saat menoleh, beberapa mahasiswa yang kebetulan berada di sekitaran menara saling berbisik sambil sesekali melirik padanya.

          "Ray."

          Netra Ray beralih ke Leo yang sudah menunggunya di depan pintu utama bersama sang rektor juga empat orang lain, ditambah satu android. Ia taksir mereka pasti orang-orang penting di BIU.

          Ray melangkah ringan. Alas pantofelnya berkeletuk kala mengenai lantai marmer sebagai jalur khusus menuju pintu utama menara. Begitu ia berada di hadapan rektor, sedikit membungkuk seraya menjulurkan tangan hendak memberi salam, sang rektor justru menarik pelan tubuhnya, memeluknya. Tubuh yang lebih kecil dari miliknya itu mendekap hangat. Ray agak kikuk membalas pelukan itu.

          Bille menepuk-nepuk pelan punggung Ray. Kemudian, ia lepaskan pelukan itu sambil berkata, "Badan kamu makin besar, ya. Makin kekar. Padahal baru dua tahun kita tidak bertemu. Sekarang makin tampan dan gagah." Ia genggam kedua pangkal lengan Ray, disambut cengiran jumawa dari pemuda itu.

          "Kalau itu sudah pasti. Sudah sangat jelas."

          Leo menyikut lengan Ray. Terkekeh kaku. Sebaliknya, Bille justru tertawa seolah habis mendengarkan celotehan yang menghibur.

          "Kamu ini orangnya narsis juga, ya, Ray." Kali ini ia tepuk-tepuk pangkal lengan Ray. Hal ini menjadi kebiasaannya demi mengakrabkan diri dengan orang lain. "Kamu tahu, sudah dari dulu saya kepengin kamu belajar di universitas ini. Saya kepengin kamu gabung dalam organisasi di lingkup BIU. Padahal, dua tahun lalu itu, kamu sudah lulus semua tes masuknya. Tapi sayang sekali belum bisa bergabung dengan kami."

          Ray menghela napas berat. Mimiknya menyatakan bahwa ada kesedihan bercampur kekecewaan di sana.

          "Yah, waktu itu, saya juga sebetulnya sudah kepengin banget kuliah di sini. Tapi mau bagaimana lagi. Ayah nyuruh saya buat bantu dia dulu. Status saya jadi freelancer deh." Ray sedikit bergurau seraya mengangkat bahu. "Yang penting sekarang saya punya banyak waktu luang untuk kuliah." Kemudian, perlahan mimiknya menjadi amat serius. "Saya ... juga mau berjuang menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk penyembuhan epidemi di Indonesia."

KATASTROFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang