5 | Anggota Baru

Mulai dari awal
                                    

          "KAREEENN!"

          Anak panah melesat tak tentu arah. Karen berjengit dan hampir-hampir saja ia turut terhempas, lantaran suara sekeras volume speaker paling prima tiba-tiba menghantami gendang telinganya. Sesaat kemudian ia tatap nanar anak panah miliknya yang jatuh ke rerumputan 10m di depan.

          "Waduh, baru kali ini lho aku lihat bidikan panah Karen meleset begitu." Tisha menggeleng-geleng seraya berdecak prihatin. Wajah polosnya sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah. Ia tepuk-tepuk pundak Karen coba memberi peringatan. "Fokus, Ren. Fokus."

          Cepat Karen membalikkan tubuh. Tisha yang kecil nampak makin menciut dihunuskan tatapan setajam belati milik Karen. Rana yang tadi di sebelahnya, beringsut tanpa suara ke dekat Keyle, yang rela menahan gigitan roti di mulut. Keduanya saling tatap dalam diam seolah menyuarakan hal yang sama. Mampus. Mati dia!

          "Apa?" Hanya satu kata itu yang terucap dari bibir Karen, namun mampu membuat Tisha agak bergidik karena terdengar menyeramkan baginya.

          Tisha berdeham dan berucap ragu-ragu. Matanya yang bulat menatap layaknya hewan peliharaan yang sedang meminta makanan. "Bisa ... lebih lunak sedikit, nggak, Ren? Aku ke sini sebagai utusan Pak Bille lho."

          Sigap Karen mengeluarkan datscreen dan itu membuat Tisha sontak tergemap. Ia geragapan saat layar datscreen muncul dan alat itu mulai memindai wajahnya. "M-masa kamu sejahat itu, Ren?" Ia gerak-gerakkan telapak tangan di atas layar datscreen yang berupa hologram, memberi isyarat agar Karen menurunkan benda itu. "Aku betulan disuruh Pak Bille buat manggil kamu ke kantornya. Ini bukan pelanggaran lho."

          Lampu indikator pelanggaran memang tidak menyala pada datscreen. Namun tatapan Karen tetap sama—dingin dan menusuk. Yang ia permasalahkan bukan bohong atau tidak. Tapi ia malas memperpanjang masalah.

          Karen menutup datscreen, menyimpannya kembali. "Kamu mau tau pelanggaran apa yang udah kamu perbuat?" Ia geser tubuh Tisha dengan satu tangan hingga gadis itu menghadap Keyle dan Rana. "Coba tanya ke mereka."

          Sementara Tisha bertanya lewat mimik bingungnya, Keyle menggigit kasar potongan roti yang masih tersisa separuh. Netranya seakan menginterogasi gadis itu.

***

          Pintu menuju ruang rektor terbuat dari logam berlapis pualam, memberi kesan futuristik yang menyatu dengan alam. Di depannya, Karen membetulkan rompi sangkarut agar terlihat lebih rapi. Ia kebas apa saja yang sekiranya menempeli seragam serta tubuhnya. Ia pun memastikan lagi apakah pada sol sepatu boots masih tersisa sedikit kotoran atau tidak, karena tak mau sedikit pun mengotori lantai indah di dalam sana. Setelah cukup yakin, Karen mengetuk pintu tiga kali. Kotak sensor di samping engsel memindai keseluruhan tubuh Karen. Selepas bunyi bip, pintu pun terbuka, membelah jalan dari tengah.

          Karen melangkah tegap ke lantai yang seluruh permukaannya tertutupi karpet beludru. Halusnya bulu-bulu hijau dari karpet itu tetap dapat ia rasakan meski mengenakan sepatu. Dari pintu masuk ini, kantor rektor bak taman berselimut rumput-rumput segar. Lukisan pemandangan tiga dimensi di depan sana menambah kesan itu. Belum lagi bebatuan artifisial berjajar melengkapinya, sehingga air terjun pada lukisan itu tampak keluar secara magis.

          Sayup-sayup Karen mendengar suara rektor dari ujung barat ruangan ini, persis di mana meja rektor berada. "Sebetulnya saya enggan ngasih kamu hukuman. Selama ini kamu selalu nerapin sikap layaknya mahasiswa teladan."

          Netra Karen menilik ke arah sana. Di hadapan rektor seorang gadis tertunduk dengan kedua tangan yang dirapatkan di depan tubuh. Dua kursi terabaikan di sampingnya, karena gadis itu betah menopang tubuh dengan kedua kakinya. Gadis itu merespons ucapan rektor namun tak jelas terdengar. Hanya saja, dari getaran suaranya seakan menunjukkan ekspresi takut bercampur rasa bersalah.

KATASTROFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang