27 Januari 2016 (2)

651 71 28
                                    

"Masih inget, pertanyaan gue soal lo ada di golongan wanita mana buat Dean?"

Aku berhenti menyusuri koridor apartement. Jantungku berdebar tidak karuan. Tidak ada penjelasan ketika Neo mengantarku untuk menemuimu. Ada rasa nyeri di dada yang timbul, pikiran yang membeku, kepekaan yang menumpul--pelan-pelan menjadi seorang Kanaya yang kacau lagi karenamu. Aku hanya merasa, aku harus bertemu denganmu secepat mungkin. Menolongmu, atau menenangkanmu, atau menemanimu selama beberapa waktu.

"Semua wanita harus dilindungi, wanita yang harus dilindungi, dan wanita yang dia sayang, ingat?" Neo menyusulku dari belakang, kemudian menyandarkan tubuhnya pada salah satu pintu kamar dengan wajah berpaling dariku. "Bohong. Itu bohong, karena bagi Dean, wanita adalah trauma terbesarnya." Aroma tembakau mulai menyeruak ketika kepekaanku kembali normal. "Hal paling menyakitkan itu bukan luka, tapi menemukan sosok berharga kemudian perlahan hancur, dan cara terbaik ngehilangin ketakutan adalah dengan berteman dengan trauma itu sendiri--itu yang lo bilang."

Beberapa kenangan saling menyalak. Ingatan bagaimana sosok Abang yang pernah mengatakan demikian; beberapa kepingan memori amburadul yang sulit diingat--aku terpaku.

"Ironis." Neo tersenyum. Aku menghadapi lagi perang batin mengenai sosokmu, Dean. Sosokmu yang sebenarnya hanya nama saja yang kuketahui.

"Coba ingat-ingat, mungkin lo pernah ketemu Dean sebelumnya."

Semakin aku paksa untuk mengingat kalimat itu, berusaha menggali sosokmu di dasar memori, semakin pecah memori yang ada. Aku memejamkan mata, sampai akhirnya aku menyadari bahwa ucapanmu tentang pertemuan sebelumnya memang ada. Kamu yang mengikutiku; memerhatikanku; menjelajahi duniaku--ternyata kita memang pernah bertemu sebelum kamu menolongku di kereta.

"Tolol!" Dalam sekejap tubuhku berada dalam kendali Neo. Tangannya mengerat seperti berusaha meremukan pundakku. Matanya nyalang menyudutkanku. Tiap kerut wajahnya, menimbulkan reaksi hebat bagi nyaliku--takut, aku takut dengan Neo yang hampir meledak ini. "Dean pernah jatuh cinta sama ibu kandungnya sendiri, terobsesi sama kekerasan dan rasa sakit karena ibu tirinya, sampe hal tergila perkosa adik kandungnya sendiri. Lo gak pernah mikir, kenapa Dean selalu tiba-tiba hilang? Lo gak pernah nanya kenapa dia kadang seakan-akan ngejauhin lo? Karena yang lo pikirin cuma sosok Dean yang sekarang, cuma perasaan lo doang, lo bahkan gak ingat kalo sebelumnya kalian pernah ketemu. Lo gak inget cerita dia Kanaya!"

Aku tersenyum getir. "Ah, pemuda yang singgah di tengah jalan untuk menjemput ajal."

Pemuda yang singgah di tengah jalan setelah membuang bukunya; dengan senyum puas karena inisiatif menghampiri kematian; dan air mata yang tidak bisa berhenti karena takut akan kematian juga kehidupan--ah, aku ingat tentang kamu Dean. Termasuk bagaimana takutnya diriku yang mulai mengenal bagian terkelam darimu.

"Udah ingat?" Neo menjauh. "Di kamar ada Dean yang lagi nikmatin amukan adiknya. Sekarang gue tanya, mau tetep ada buat Dean atau kabur kayak dulu?"

Dulu ya? Ah, dasar Kanaya jahat. Berlindung dibalik status remaja labil yang belum dewasa, tidak boleh bukan?

"Neo, kamu mau tau apa yang aku takutin waktu itu?"

"Gak ada urusannya sama gue."

"Takut karena obsesinya. Orang asing yang tiba-tiba selalu nunggu di persimpangan jalan, menyapa dengan wajah tertutup masker, menguntit, memberikan beberapa bunga atau cokelat--takut menjadi target obsesinya."

Aku tidak pernah tahu seberapa besar pengaruhnya kalimat itu dalam hidupmu, Dean. Seberapa pengaruhnya sosokku pada malam itu yang berusaha menolongmu dan menghiburmu. Seberapa hebatnya kehadiranku malam itu sampai kamu memberanikan diri lagi untuk menulis kisah baru bersama.

"Jadi?"

Aku menatap Neo dalam. Rasanya seluruh emosi berkecamuk. Pikiranku tetap keruh. Entah harus tetap menemuimu atau melakukan hal yang sama seperti dulu. Fakta bahwa kamu masih memperhatikan bahkan menguntitku, bukankah itu hal yang menakutkan juga? Kamu diam-diam memperhatikan, diam-diam mengetahui banyak hal, diam-diam bermain dengan situasi dan kondisi, diam-diam membuatku merangkai cerita baru dengan alur yang terus maju, sampai diam-diam membuatku hampir memujamu.

Hebat, kamu pemegang kendali cerita ini Dean, dan aku terlanjur jatuh hati.

Aku melangkah cepat menuju apartementmu, memasukan sandi  yang ternyata telah berubah. Neo muncul dari belakang dan menekan kombinasi angka yang baru, tangannya mempersilakan diriku masuk setelah pintu terbuka. Aku terpaku ketika melihat bahu seorang gadis berambut sebahu, pecahan beling berhamburan, pemukul bisbol yang menggelinding menuju tembok dan jejak darah yang menetes dari ujung jari gadis itu. Aku menutup mata ketika melihatmu meringkuk di lantai, bertelanjang dada dengan banyak memar di punggung.

"Saya gak berantem."

"Simbolis pria sejati."

Ah, jadi ini yang dimaksud simbolis pria sejati--memar yang didapat dari hasil menerima sanksi.

"Lo tau, dari hari ke hari hidup gue makin kacau. Jadi pasien rumah sakit jiwa yang harus kontrol tiap minggu, ngurus anak lo yang cacat, yang bentar lagi mati, gak punya kerjaan, judging mental dari masyarakat. Gara-gara lo, sialan! Seharusnya cuma lo yang sakit jiwa! Bangsat!"

Gadis itu melempar gelas yang berada di dekatnya. Pecahannya mengenai tubuhmu, tapi kamu tidak bereaksi apapun. Neo memberinya jaket dan membawanya pergi. Ruangan menjadi hening dengan bau amis darah dan aroma susu. Kakiku mendadak sulit digerakan dan hanya memperhatikanmu yang berusaha bangkit dengan luka baru yang berdarah. Ketika kamu berbalik, semestaku kembali berhamburan. Perasaan takut tidak terelakan ketika melihat senyummu yang samar. Tanganmu tampak antusias menekan bagian-bagian yang seharusnya amat menyakitkan.

"Hari ini ya, Anaya? Hari ini kamu bakal kecewa dan benci saya. Lagi."

Kanaya, bernapas!

Aku menarik napas dalam. Saat aku melihat sosokmu seutuhnya, rasa sakit menjarahi dadaku. Rasanya sesak ketika melihatmu tersenyum dengan air mata berurai.

"Anaya, kadang rasanya sakit, kadang juga terasa nikmat. Saya ..., juga ingin sembuh."

Kakiku bergerak perlahan, akhirnya aku mendatanginya, mengusap air matanya, menariknya ke dalam pelukan, aku berhasil memenangkan rasa takut diri sendiri karena jatuh cinta.

"Saya menghilang agar obsesi saya reda. Kamu benar, Anaya, rasa sakit paling hebat adalah menemukan orang berharga. Saya takut kehilangan kamu karena sosok saya yang bermasalah. Saya mencoba menjauh tiba-tiba agar terbiasa mengontrol dorongan obsesi. Saya takut kamu pergi lagi, Anaya. Saya takut."

Aku memejamkan mata ketika tubuhmu semakin dalam di pelukanku. Aku menikmati sentuhan surai halusmu yang sebagian lengket dengan darah dan susu. Menikmati dekapan tanganmu. Menikmati segala hal yang bisa aku ingat dari sosokmu yang sebenarnya ini. Kamu yang lemah, yang menangis dalam pelukanku, yang mengatakan kejujuran.

"Anaya, setiap harinya saya seperti hampir gila. Bahkan hari ini saya mungkin akan menjadi gila lagi."

Iya, aku tahu.

"Saya melanggar privasi kamu. Saya melakukan hal yang membuat kamu takut. Saya enggak boleh terobsesi sama kamu. Saya harus sembuh Anaya. Saya harus sembuh."

Iya, benar, kamu harus sembuh.

"Anaya, maaf, kamu berharga buat saya."

Iya, terima kasih Dean. Aku pikir, kamu juga akan menjadi salah satu orang berharga. Jatuh cinta pertama setelah patah hati terhebatku.

"Dean, ayo buat banyak kenangan baik."

Dan aku, ingin terus melangkah bersamamu. Aku tahu ini terkesan berlebihan untuk remaja labil sepertiku, tapi kamu datang sebagai orang dan hal yang mendewasakanku.

Catatan :

Maafin aku yang tiba2 hiatus :(

Aku lagi berusaha namatin Kanaya-Dean dan bikin cerita sequelnya.

Makasih banyak buat kalian yang setia nunggu, lop u all :*

the Day I Met You #1Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu