Chapter 3.

1.6K 252 57
                                    

Di sinilah Lucy berada, mengendap-ngendap dengan kaki telanjang di sepanjang koridor untuk menghindari perawat agar bisa segera bertemu 'miliknya,' ia harus bisa mendapatkan apa yang dia mau, siapa yang tidak kenal dengan Lucy Lee?

Artis papan atas Amerika-Korea yang sudah mendapatkan ribuan penghargaan karena sikap profesionalnya itu, sayangnya ia keras kepala, angkuh dan selalu seenaknya.

"Permisi bu, ibu mau kemana?" tanya perawat setelah melihat aksi mencurigakan Lucy.

Lucy terkejut, lalu perlahan membalikan badannya untuk melihat si perawat. "Aku lebih mudah darimu, jadi jangan panggil bu." Ketus Lucy. Si perawat dengan muka yang nyaris hijau karena menahan emosi itu tersenyum paksa.

"Mau kemana?"

"Kepo saja kau," ketusnya. "Suka-suka akulah!"

"Kalau anda meninggal tiba-tiba di hadapan saya, saya yang kena nanti," kesal perawat, Lucy membelalakkan matanya kesal.

"Mau ke wc, kenapa? Mau ikut? Kau gila ya?" panas Lucy karena perawat itu dari awal memang tak bersahabat. Jangan salahkan sikapnya yang memang seperti itu.

"Wc di sebelah kiri, bukan lurus. Silahkan kembali, sebelum saya membius anda," ancamnya.

Lucy tersenyum manis. "Iyakah? Oh, aku takut sekali," ejeknya, lalu mukanya berubah menjadi dingin. "Bukan.urusan.kau!"

Sedetik kemudian, Lucy berlari cepat agar perawat tersebut tak bisa mengejarnya. Lucy mentertawakan kaki pendek si perawat, bahkan karena menggunakan hak tinggi, si perawat kewalahan hingga jauh tertinggal.

Lucy tertawa jahat.

"AAAA!"

BRUK!

"Sia-" baru saja ingin mengumpat, Lucy lebih dulu menahannya agar tak merutuki siapa yang ia tabrak.

"Bocil mana nih?" gumam Lucy. Si bocil terduduk, sedetik kemudian ia menangis keras.

"HUAAA BIBI JAHAT!"

Lucy tergagap, ia melihat keadaan sekitar yang untungnya sepi. "Hey, are you okay?" tanyanya pelan, agak takut. Ya, dia benci anak kecil.

Lucy sebenarnya benci melakukan ini. Bukan salahnya, salah bocah di hadapannya kenapa bisa berkeliaran sendirian di rumah sakit. "Mana jelek lagi mukanya," gumam Lucy.

Tangis bocah itu semakin besar, bahkan ia mulai menendang-nendangkan kakinya. "EH?! J-jangan nangis dong! Aduh, nyusahin aja!" kesal Lucy yang berusaha berdiri, karena kakinya tadi keseleo, membuat dirinya susah berjalan.

"Argh, bocil kurang ajar," guman Lucy yang ia lanjutkan dalam hati. Ia tak henti-hentinya menyumpah dan merutuki bocah di depannya, karena bocah ini pun, kakinya keseleo.

"Kan salah kamu, ngapain kamu di tengah jalan sendirian?"

"Terserah akulah!" teriaknya lalu menangis.

Lucy meringis, ia tidak mampu mendirikan bocil itu karena kakinya sakit. "Bisa berdiri? Kakak bantu,"

"Gamau, bibi jelek!"

Emosi Lucy berada di tingkat akhir saat mendengar bocil di depannya memngatainya 'jelek' seumur-umur ia tidak pernah di katai jelek oleh siapa pun, kini harga dirinya dengan gampang di injak oleh anak kecil.

"Kamu tuh jelek! Udah kecil, hidup lagi!" emosinya.

"Bibi jelek, tua, gendut!" teriaknya.

Lucy memegang pipinya, mulai bertanya-tanya apakah benar kerutannya muncul? Ah, pasti gara-gara ia sering marah belakangan ini. Namun, Lucy tidak ingin kalah dari bocil di hadapannya ini.

The Doctor Is MineUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum