Tiga belas; Kak ... Bagaimana Rasanya Mati?

Start from the beginning
                                    

Tiba-tiba pikiran Fajar melayang. Kotak ingatan di kepalanya pun terbuka, isinya berceceran. Fajar ingat, dulu, setiap kali ia menangis sendirian di kamar setelah dimarahi Sonya, Cairo adalah satu-satunya yang akan datang. Saat jarinya tidak sengaja teriris pisau dan Sonya justru menambahkan satu sayatan, Cairo yang akan menariknya pergi lalu mengobatinya pelan-pelan. Saat Sonya mengurungnya di gudang setelah ia tidak sengaja menghilangkan ikat rambut Clara, Cairo yang akan diam-diam datang dan menemaninya di luar. Mengatakan bahwa saat itu Fajar tidak sendirian.

Sejak awal, Cairo adalah langit paling sempurna untuk Fajar. Bahkan sampai sekarang. Seharusnya Fajar tidak bersikap kurang ajar.

"Kakak," panggil Fajar kemudian. Ia tidak mendapat balasan, tapi di tempatnya, Cairo pasti mendengarkan. Maka Fajar mendekat dan mengeratkan pegangannya di pundak Cairo, sebelum akhirnya melanjutkan.

"Maaf kalau omongan gue tadi keterlaluan. Maaf kalau gue nyakitin lo tanpa sadar. Makasih karena lo masih peduli."

Kalimat Fajar hanya disambut oleh desah kasar angin yang terbelah perlahan. Tapi cowok itu juga tidak memerlukan jawaban. Ia hanya ingin memberitahu semesta bahwa ia benar-benar tidak ingin kehilangan. Ia hanya punya Cairo dan selamanya sosok itu ingin ia genggam. Hingga nanti ia sampai pada titik dimana semua harus dilepaskan dan ia pun harus menghilang.

Selanjutnya bisu merayap di antara bising kendaraan. Fajar kira semua benar-benar telah usai dan Cairo memilih diam. Tapi ternyata suara cowok itu terdengar saat Fajar sudah mulai larut dalam pekik riuh jalanan yang tidak pernah terasa melegakan.

"Kita mampir kafe dulu. Tadi lo nggak sempat makan siang."

Dan kalimat itu menjadi syair tanpa nada yang membawa tenang untuk gaduh di dada Fajar. Tanpa sadar sudut-sudut bibir cowok itu tertarik, membentuk senyuman. Ia senang. Karena hadirnya Cairo di sana membuat keramaian di sekitar tidak lagi terasa menakutkan.

✍️✍️

"Rangga bener-bener nyebelin!"

Meja di sudut kafe itu rasanya penuh, padahal hanya ada tiga orang di sana, ditemani tiga gelas latte yang mulai kehilangan aroma. Suara Clara menjadi yang paling keras menggema sejak ketiganya memutuskan duduk bersama. Gadis itu kacau setelah tadi memergoki Rangga diam-diam bertemu dengan Kaesa, mantan pacarnya yang tempo hari menyerang Clara tiba-tiba.

Amarah gadis itu memuncak saat ia menghubungi Rangga dan lelaki itu mengatakan bahwa ia sedang pergi mengantar Mama. Padahal saat itu Clara ada tak jauh dari tempat Rangga berada dan melihat jelas siapa orang yang ada bersamanya. Ini bukan kali pertama Rangga membuatnya patah, tapi baru kali ini Clara merasa benar-benar marah.

"Emang harus lo yang mutusin duluan, Ra. Cowok kayak gitu ngapain juga dipertahanin? Cowok tuh, ya ... sekalinya nyakitin, bakal keterusan. Daripada lo makin sakit nanti, mending udahan sekarang." Reya, salah satu teman Clara yang duduk di sana akhirnya angkat bicara.

Tapi siapa sangka dengan begitu Clara justru semakin terluka. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menyembunyikan matanya yang sembab serta make up yang mungkin berantakan.

"Tapi gue masih sayang. Selama ini dia baik banget. Makanya gue tahan pacaran dua tahun sama dia."

"Ya terus lo maunya gimana? Putus apa enggak?" Kali ini Diandra yang bersuara. Gadis blasteran Indonesia-Australia itu memang jadi yang paling diam di antara mereka bertiga. Tapi melihat Clara yang tidak berhenti mengeluh dari tadi sepertinya berhasil membuat gadis itu geram juga.

Memeluk Fajar [Terbit]Where stories live. Discover now