Tiga belas; Kak ... Bagaimana Rasanya Mati?

6.6K 1K 1K
                                    

Parkiran sekolah sudah sepi saat Cairo tiba di sana dengan Fajar yang dari tadi mengikuti. Cowok itu berjalan menuju barisan paling kiri, menuju motornya yang kini tinggal terparkir sendiri dan menjadi paling dominan di tengah tanah lapang yang tak lagi berpenghuni.

"Pulang sama gue." Tiba-tiba Cairo menoleh dan melempar helm pada Fajar yang saat itu diam. Beruntung refleks anak itu cukup bagus meski setelahnya ia mendengkus kesal.

"Bilang-bilang, dong, Kak kalau mau lempar! Kena muka gue tadi gimana?" Fajar berusaha protes dengan menekuk wajahnya. Tapi Cairo hanya membiarkan saja.

Ada lega yang diam-diam menelusup di dada cowok itu saat ia tahu Fajar sudah kembali menjadi jingga yang menyala. Tidak lagi hitam, seperti sebelumnya. Cairo senang, setidaknya anak itu telah kembali menganggap semua biasa, seolah sebelumnya tidak pernah terjadi apa-apa. Meski Cairo tidak tahu apakah semua benar telah baik-baik saja atau tawa anak itu hanya sebatas pura-pura.

Cairo tidak ingin bertanya dan kembali mengusik Fajar lebih dari seharusnya. Ia tidak ingin anak itu terluka. Baginya lebih baik seperti ini saja. Cukup baginya mengetahui bahwa Fajar tidak lagi berada dalam pengaruh Sonya.

"Lo balik sama gue hari ini," tekan Cairo sekali lagi. Cowok itu sudah berhasil mengeluarkan motornya dari parkiran dan berhenti tepat di depan Fajar. Tapi yang ia temukan justru hela napas panjang.

"Gue mau cari kanvas sama cat minyak dulu. Ada tugas seni rupa buat dikumpulin minggu depan."

Sejenak mata Cairo menyipit, sebelum akhirnya ia bertanya dengan tatap menyelidik.

"Ini bukan akal-akalan lo doang buat kabur dari gue, kan?"

"Astagaaa! Lo nggak percaya? Mau gue telponin Bu Sekar?"

Bukan apa-apa. Cairo hanya merasa tidak boleh membiarkan anak itu sendirian untuk sekarang. Ada banyak kemungkinan yang mengusik hingga ia tak tenang, ada banyak ketakutan yang bersarang dan membuatnya enggan meninggalkan. Cairo hanya takut kalimat Sonya akan mempengaruhi Fajar. Cairo takut anak itu bertindak lebih dari apa yang seharusnya ia lakukan.

Detik berlalu dan Cairo akhirnya membiarkan tegang di wajahnya terurai.

"Tugasnya suruh ngapain?" tanya Cairo kemudian.

"Gambar. Jadi, kita semua dikasih dua pilihan tema. Tugas kita adalah milih tema yang paling kita suka terus tuangin kreativitas kita ke kanvas. Seru banget nggak, sih, Kak? Ini tuh kayak kita lagi nantang diri sendiri buat berkarya. Apalagi gue suka banget temanya. Memeluk Mimpi dan Melepas Harap. Rasanya relate banget aja gitu sama gue."

Siapa sangka kalimat terakhir Fajar bergema lebih lantang dari sebelumnya. Lalu fokus Cairo terpaku di sana untuk waktu yang lama. Dua pilihan yang Fajar sebutkan tadi terdengar begitu sempurna. Cairo bahkan sudah bisa membayangkan bagaimana kuas Fajar menari di permukaan kanvas, membentuk goresan penuh warna dan menjadikannya bernyawa.

Namun, yang menjadi pertanyaan Cairo sekarang adalah; mana yang Fajar pilih? Karena yang ia lihat, Fajar adalah sang tokoh utama yang terjebak di antara keduanya.

"Semua harus milih satu di antara dua, kan? Lo pilih yang mana?"

Detik itu Fajar tersenyum dengan mata yang tampak menyala. Lalu tanpa ragu ia menceritakan segalanya. Karena memang seperti itu seharusnya. Fajar hanya butuh satu tempat yang bersedia menampung keluh serta patah yang ia rasa, maka di sanalah ia akan menumpahkan semua.

Memeluk Fajar [Terbit]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα