Dua; Batas Untuk Kita

7.9K 1.1K 648
                                    

Semenjak semesta menghadirkan sosok Fajar di tengah tenang yang ia genggam, Sonya tidak lagi menjadikan rumah sebagai tempat untuk pulang. Hari-hari wanita itu akan dihabiskan di lokasi syuting dan sejumlah tempat pemotretan. Mulai dari Jakarta hingga keluar kota. Mulai dari yang hanya memakan waktu kurang dari satu jam, hingga yang mengharuskan ia menetap seharian dan kemudian bermalam.

Hampir enam belas tahun, Sonya hanya menjadikan rumahnya sebagai tempat untuk singgah sebentar. Hanya untuk melepas rindu dengan kedua anaknya yang telah tumbuh besar, setelahnya ia akan kembali ke apartemen. Menghabiskan malam-malam sepinya sebagai seorang wanita yang kesepian. Bukan sebagai Sonya Emilia yang selalu penuh kebahagiaan, seperti yang selama ini dikenal orang.

Wanita itu melepas blazer tebalnya begitu memasuki ruang apartemen yang selalu tenang. Menyisakan blouse tipis warna putih tulang di tubuhnya yang ramping. Ia kemudian berjalan ke dapur untuk menuang air minum. Lalu duduk di kursi dengan meja kaca yang membentang, tampak mewah dan elegan.

Tapi setelahnya ia diam. Sebanyak apa pun ia menentang, tidak akan pernah mengubah satu kenyataan yang menjerit-jerit di hatinya. Bahwa ia kesepian. Bahwa terkadang kosong itu menjelma menjadi duri tajam yang menikamnya pelan-pelan.

Sonya punya segalanya. Ia punya harta. Punya kehormatan yang begitu tinggi derajatnya. Di luar sana ia menerima banyak sekali cinta, mendapat sanjungan yang tidak pernah ada habisnya. Hidup Sonya sempurna hanya dengan popularitas dan harta. Setidaknya sampai ia menyadari bahwa ada satu cacat yang menjadikan hidupnya tidak baik-baik saja.

Sonya bisa hancur kapan saja. Mungkin itu yang membuatnya selalu merasa ketakutan di setiap malam sebelum ia memejam, atau setiap kali media mulai mengulik tentang kehidupan pribadinya yang sejauh ini masih ia jaga mati-matian.

Suara helaan napas wanita itu terdengar bersamaan dengan nyaring gelas yang ia letakkan. Sebelum suara pintu yang dibuka membuat ia mengalihkan pandangan. Sosok tegas Pras--managernya--muncul dari sana dengan ponsel yang masih menempel di telinga.

"Iya, Pak. Siap. Terima kasih banyak atas undangannya. Kami pasti akan datang tepat waktu. Iya. Sampai jumpa nanti malam, Pak."

Sonya hanya diam dan merekam pembicaraan pria itu dengan seseorang di seberang. Tidak perlu bertanya, Sonya bisa menebak apa yang mereka bicarakan. Kegiatan wajib setelah press conference maupun gala premiere film tidak pernah jauh-jauh dari jamuan makan tanda perayaan setelah berbulan-bulan mereka bekerja keras, sekaligus taktik agar Sonya bersedia terlibat lagi dalam project baru mereka selanjutnya. Sonya sudah hafal sekali permainan licik di balik gemerlap dunia hiburan ini.

"Undangan dinner dari Production House, malam ini, jam delapan. Nggak ada alasan buat nggak datang, Sonya. Kamu tau seberapa besar nama PH ini, kan? Jangan kecewakan mereka. Dan jangan merugikan diri kamu sendiri." Pras mendekat setelah sebelumnya meletakkan satu kantong besar berisi hadiah dari para penggemar.

Sementara Sonya terkekeh dan menggenggam lagi gelas yang sebelumnya telah ia letakkan. Gurat lelah menguar melalui bagaimana mata wanita itu menatap ke depan. Tapi ia masih tetap tenang.

"Aku tahu apa yang harus aku lakuin. Aku juga tahu mana yang benar-benar bisa menguntungkanku secara finansial, dan mana yang cuma memanfaatkan namaku untuk meraup target pasar."

"Bagus. Itu baru Sonya yang kukenal. Oh iya, untuk acara nanti malam aku bakal pesenin dress spesial. Kamu harus tampil sempurna di depan para petinggi PH dan sutradara. Wait, aku hubungi desainer kamu dulu."

Untuk yang satu ini, Sonya hanya diam. Sejak awal semua keperluannya Pras yang tentukan. Dan tidak pernah ada bantahan. Wanita itu beralih tepat saat Pras kembali sibuk dengan ponsel di tangan, kemudian menyingkir untuk melakukan panggilan.

Memeluk Fajar [Terbit]Where stories live. Discover now