Tiga belas; Kak ... Bagaimana Rasanya Mati?

Mulai dari awal
                                    

"Dua-duanya gue suka. Gue juga udah nyiapin dua konsep gambar yang beda seandainya nanti gue gagal sama salah satunya. Memeluk mimpi kedengarannya sempurna, kan?"

"Lo pilih itu?"

"Enggak."

"Berarti lo ambil pilihan kedua?"

"Enggak juga."

Ketika Cairo mulai tidak bisa membaca bagaimana isi kepala Fajar bekerja, dengan cepat suara anak itu menyela. Memangkas seluruh tanya tanya dalam benak Cairo sebelum cowok itu sempat mengungkapkannya.

"Gue udah bilang, gue suka keduanya. Jadi, gue mau gabungin dua tema itu jadi satu konsep. Pinter 'kan gue? Iya, Fajar emang keren."

Di detik selanjutnya, Cairo bisa melihat nyala jingga yang membara melalui bagaimana Fajar bercerita. Ada pula tawa yang anak itu titipkan dalam tiap penggal kata yang ia gaungkan di udara. Hal yang diam-diam Cairo suka. Ia suka bagaimana Fajar terlihat begitu lepas dengan tawa yang ia punya. Bebas ... seolah tidak ada esok yang akan menyakiti, atau segenggam pisau yang siap menyayat sampai ke nadi.

"Mana bisa kayak gitu? Yang ada lo dapet poin minus dari Bu Sekar. Seenaknya aja bikin aturan sendiri," ucap Cairo kemudian. Cowok itu baru selesai memasang pengait helmnya dan sekarang membiarkan deru mesin motornya meraung, mengisi sepi di sana.

"Lihat aja nanti. Gue bakal bikin Bu Sekar nyesel udah ngatain hasil karya tangan gue mirip cacing abstrak." Fajar mendengkus kesal. Ternyata sindiran Bu Sekar tadi pagi masih membekas dan menempel kuat di ingatan. Sekarang malah menimbulkan dendam.

Cairo baru akan bertanya lagi, saat tiba-tiba Fajar memotong.

"Kakak duluan aja udah. Gue bener-bener perlu belanja dulu buat nyerang balik Bu Sekar."

"Sini!" Tapi tahu-tahu saja Cairo memerintah. Membuat Fajar mengernyitkan keningnya.

"Apa?"

"Sini gue bilang."

Mau tak mau Fajar menurutinya. Ia mendekat hingga jarak di antara keduanya hanya menyisakan jengkal pendek saja. Fajar baru akan bertanya, tapi ternyata Cairo bergerak lebih cepat dari yang ia kira. Tangan cowok itu merebut helm dari rengkuhannya kemudian memakaikan ke kepala Fajar begitu saja. Memastikan sebentar bahwa pengait di sana telah terkunci sempurna.

Cairo tidak menatap Fajar, tapi sepertinya diamnya anak itu mampu menuntun Cairo untuk memberi penegasan atas tindakannya barusan. "Gue anter."

Dan jika sudah begitu, Fajar tahu Kakaknya tidak menerima penolakan. Maka dengan berat hati ia mengangguk sebelum akhirnya menempati ruang kosong di belakang Cairo dan mencari pegangan.

"Dasar tukang maksa," ucap Fajar. Sengaja dikeraskan agar Cairo dapat mendengar.

"Dasar tukang ngeyel."

"Dasar kakak nyebelin."

"Dasar adek keras kepala." Bersamaan dengan itu Cairo menarik gasnya. Terlalu tiba-tiba sampai Fajar nyaris terjengkang jika tidak cepat meremas pundak cowok itu sebagai pegangan.

Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Hanya membiarkan Cairo memacu motornya keluar dari parkiran dan membelah jalan. Fajar diam, merekam tiap jengkal punggung Cairo yang selalu menjadi tempat paling teduh untuk ia pulang. Menjadi dinding paling aman untuk ia sembunyi dari api yang menjadikan rumahnya terbakar. Menjadi perisai paling tangguh untuk melindungi Fajar dari busur-busur panah yang menyerang.

Memeluk Fajar [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang