•• 4. Nilai E Pembawa Temu

28 7 18
                                    

R A D A R  D U A  R O T A S I
Ketsiamanda
○●○

Sebelum membaca, harap berikan jejak. Jangan berikan harapan palsu. Ketiklah kritik dan saran. Jangan tuliskan kenangan bersama mantan.

Selamat membaca!

○●○

Status adalah embel-embel pengakuan yang dipasang demi menaikkan pamor hidup. Bagiku begitu. Mengemis pujian semu tidak bisa membahagiakan.

Justru itu bisa menepis tangan-tangan baik yang dikirim Tuhan untuk melepaskanmu dari fase hilang arah. Lalu terjerumus dalam ikatan yang penuh kekang. Apa bagusnya status dan hubungan semacam itu?

Ah, percayalah, aku tidak sedang membela kaum jomlo.

Murni pemikiran yang timbul karena muak dengan drama putus nyambung di sekitar. Selebihnya, para bidadari sudah tahu. Rean Gibraska bosan pada hubungan main-main. Bosan terikat status semu dan kekangan.

Lagi pula, prinsipku itu membuat sebuah warna baru. Dikejar-kejar para penggemar yang entah mengenalku dari mana, dan itu cukup membuatku bahagia. Repot, sibuk, dan akhirnya lupa pada status jomloku.

Tiga jemari andalanku; jempol, telunjuk, jari tengah, bermain di atas tatanan surai hitam yang basah. Membuat volume dan gaya abstrak supaya tidak lepek memang butuh waktu lama. Dua puluh menit. Ya, cukup lama untuk pria dalam menata rambut. Sebagai mahasiswa dengan followers terbanyak di kalangan anak Fakultas Teknik di sini, aku harus tampil maksimal.

Kuambil cepat botol parfum yang tersimpan dalam lemari baju. Aroma maskulin yang pekat pun menguar ketika tutup botol dibuka. Menyebar gesit hingga ke sudut-sudut kamar yang agak berantakan ini.

Parfum yang tinggal setengah botol ini menyemprot bagian-bagian tubuhku dengan sempurna. Jangan terlalu wangi. Harumnya bisa memabukkan jika di mobil nanti.

Jiwaku terpanggil lagi oleh cermin yang tegak di sisi ranjang. Rangka cermin yang berporos di kedua sisinya ini lebih mudah diarahkan sesuai posisiku. Kuarahkan agak naik. Kaos hitam yang dibalut kemeja berwarna hijau lumut, celana jin hitam yang berat dan longgar, sampai rambut klimisku terpampang ciamik di sana.

Perfect!

"Re! Buruan, nanti mata kuliahnya lewat lagi!" Suara Laskar terdengar keras.

Ah, lupa bahwa waktu sudah bergeser ke angka sembilan. Kami bahkan melewatkan satu mata kuliah karena sibuk berdebat tadi. Ralat, karena menungguku bersiap-siap lebih tepatnya.

Ransel hitam yang ada di meja segera kusampirkan di bahu kanan. Kuberi jejak di anak tangga dengan santai. Padahal jantung sudah berdebar, khawatir tidak diiizinkan masuk kelas oleh dosen. Bukan apa-apa, sudah tiga kali aku bolos. Jika bolos lagi, maka aku harus mengulang mata kuliah ini tahun depan.

○●○


"Tiga kali absen, dan sekarang telat lagi?"

"Maaf, Prof, kami terjebak macet," cicitku.

Otomatis tiga manusia—yang ikut menunduk—di sampingku pun memberi sikutan keras. Mengapit, hingga aku risi. Kode dilempar terang-terangan, agar aku tidak menjawab omongan sang Bapak Profesor.

"Saya bilang jangan menjawab, Re!"

Spidol mengacung ke batang hidungku. Jakun naik turun, seiring ayunan spidol yang bisa kapan saja menusuk bola mata kami.

Radar Dua RotasiWhere stories live. Discover now