•• 3. Tikungan

17 7 9
                                    

R A D A R  D U A  R O T A S I
Ketsiamanda

○●○

"Perasaan manusia adalah rahasia. Tidak akan pernah diketahui oleh siapa pun. Kecuali pribadinya sendiri dan Tuhan Yang Maha Tahu."

--Sion Gentara--

○●○


Kelontang!

Aku melotot, bangun karena syok. Tersisa rasa pedih akibat kotoran mata yang mengeras, lengket di bulu mata. Kukumpulkan nyawa sembari menggaruk-garuk dengkul dan menguap selebar-lebarnya macam kuda nil.

Suhu pagi ini begitu terasa membekukan. Pendingin ruang bahkan telah kumatikan jam lima subuh tadi. Kipas angin pun sengaja tidak kunyalakan karena takut masuk angin.

Entahlah, ayahku itu kelewat rajin membeli barang yang tidak penting. Sudah tahu aku punya air conditioner, masih saja dibelikan kipas.

Buru-buru kutarik selimut. Meringkuk bagai kepompong tanpa peduli jam berapa sekarang. Kuharap bisa berjumpa Maudy Ayunda lagi di mimpi yang selanjutnya nanti.

Omong-omong, bunyi apa tadi itu? Lebih gemuruh dari speaker kondangan yang suka meledak-ledakkan jantung. Tanpa keluar selimut, aku meraih ponsel yang sudah pasti berada di nakas tersayang.

Tombol power-nya kutekan singkat. Mati. Kutekan lebih lama. Merek ponsel tersebut bersinar-sinar di layar. Pantas saja tidak ada suara alarm. Ponselku lupa di-charge. Minim baterai.

Angka di jam digital terpampang; 07:10. Gawat! Sudah jam tujuh dan asisten rumah tanggaku; Bik Gigi, sama sekali tidak menggedor kamar. Ia mau dipecat atau bagaimana?

Betisku yang ditumbuhi bulu-bulu kasar merentang bak penari balet—melompat aduhai, menginjak lantai. Brrr, dingin. Cosplay jadi kepompong begini asyik juga. Selimut kunaikkan hingga menutupi ubun-ubun. Bukan apa-apa, suhu pagi ini sepertinya mencapai lima belas derajat celsius, atau bahkan lebih rendah.

Lihatlah! Gagang pintu besi yang berkilau ini saja sudah ikut dingin. Kusentuh dinding, juga dingin. Kasihan mereka, tidak bisa ber-cosplay kepompong yang hangat sepertiku.

Pintu kubuka perlahan. Menengok kanan kiri seperti pencuri, mencurigai keadaan. Kudapati Bik Gigi sedang menyapu bagian depan kamar. Ia tersenyum, menampilkan gigi emasnya yang begitu eksotis.

Bik Gigi ialah asisten rumah tanggaku yang paling setia. Lebih setia dari deretan mantannya si Laskar. Sepuluh tahun, ya, setengah dari umurku, ia sudah mengabdi di rumah ini. Ia tinggal di sini bersama suaminya, Mang Bagus, yang juga bekerja sebagai tukang kebun dan sopir harian. Lucunya, perbedaan agama tidak pernah membuat kami canggung.

Ya, aku tidak tinggal bersama kedua orang tuaku. Tentu, ada alasan di balik itu. Ah, nanti saja aku ceritakan, ya. Aku janji!

"Pagi, Bik Gigi. Tadi Re dengar ada suara kayak baku hantam. Itu apa, ya?" tanyaku sambil menongolkan kepala tanpa berniat keluar kamar.

"Eh, pagi juga, Den Rean. Maaf, Den. Di ruang tamu ada Sion, Abiyyu, dan Laskar. Mereka—"

"Mereka yang buat rusuh di rumah Re, Bik? Wah, kurang ajar," potongku kesal.

Abai pada omongan Bik Gigi, aku berjalan lurus ke ruang tamu. Sumpah serapah mengalir lancar untuk ketiga makhluk yang nongkrong dan gaduh di sini tanpa izin. Entah kerusuhan apa yang mereka perbuat.

Radar Dua RotasiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora