•• 1. Layangan Putus Re

40 11 5
                                    

R A D A R  D U A  R O T A S I

Ketsiamanda

○●○

Halo, Rean Gibraska di sini. Siapa di sana? Boleh kenalan, enggak?

Manusia atau bidadari?

Siap membaca cerita Re bersama Zil yang cantiknya biasa aja?

Oke! Kolom komentar terbuka untuk fans Re yang budiman. Selamat menempuh hidup baru—eh.

Hehe. Maaf, ya, Sayang.

Lupa kalau sama-sama jomlo.

○●○

--Chapter 1--

Layangan Putus Re

Rean Gibraska. Tahu siapa aku? Pasti tidak tahu. Ya, aku hanyalah salah satu rakyat Indonesia yang hobi buang sampah pada tempatnya. Bukan seperti Pak Tarno yang mahir bersulap. Bukan pula mirip Lee Min Ho yang Korea tulen.

Bukan. Aku pun bukan remahan abon di kaleng rengginang. Tidak sekecil itu. Ya, aku cuma mahasiswa jomlo yang hobi memancing. Memancing emosi dan pergibahan, lebih tepatnya.

Kata Re dalam bahasa Inggris artinya ulang. Re+an berarti ulang+an. JIka disambung, sama dengan ulangan. Apa benar seperti itu arti namaku? Oh, tentu tidak, Tante. Dikutip dari situs internet tentang nama-nama bayi, Rean adalah orang yang setia, welas asih, dan penyayang. Sangat menyukai tantangan dan memiliki kepribadian yang luwes. Ia ingin hidup dalam damai dan menginginkan kesepadanan intelektual dengan pasangannya. Seratus! Makna nama ini sangat related pada kepribadianku.

Humoris? Tidak juga. Paling mentok, ya, suka dibilang lucu dan menggemaskan oleh kaum perempuan—yang menggelari diri mereka sebagai penggemarku. Kepedean? Bodo amat, karena bapakmu bukan bapakku.

Ah, sudahlah. Jangan bahas itu sekarang. Aku jadi tidak fokus meraih layangan.

"Rean Gibraska, ujung NIM 099! Turun kamu dari atas sana!"

Respons yang bisa kuberikan hanyalah melongo. Dari atas sini, wajah Pak Farid sang Ketua Jurusan itu sadis sekali. Pak Farid kujuluki sebagai dosen bermemori super. Ia bahkan ingat nomor induk tiap mahasiswanya.

Super sekali.

"Siap, Pak. Saya segera turun," balasku sok takut. Padahal hanya malas berdebat.

Kakiku yang jenjang berupaya mengais apa pun yang bisa digapai di bawah. Mencari aspal, tetapi tidak sampai. Rupanya, tiang beton penyangga baliho kampus ini cukup tinggi juga. Bisa patah tulang punggung jika aku menjatuhkan diri ke bawah sana.

Alhasil, aku harus menginjak atap mobil Pak Farid yang kebetulan dekat dan bisa dijangkau. Ya, itulah jalan agar pahaku tidak banyak bergesek dengan tiang beton. Aku tidak rela jika jaket hoodie merah ini kotor.

Sungguh, ibuku baru saja membeli jaket tersebut tiga hari yang lalu. Jaket baru harus disayang. Barang lama dibuang sayang. Barang mantan, kasih ke tetangga aja sono. Begitulah bunyinya.

Radar Dua RotasiWhere stories live. Discover now