26 | Gusar Menguar

22 8 1
                                    

h-halo?
maaf udah lama ga update.
bahagian ini pendek kok, contain cuma
1000 words doang, he he .
maaf. aku lagi gak mood soalnya
buat nulis narasi sepanjang dulu lagi.

 aku lagi gak mood soalnyabuat nulis narasi sepanjang dulu lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


happy reading !

. . .


Satu minggu berikutnya,
11 Mei 2019.

"Kan si anjir," sahut seseorang. "Udah gue tebak, lo pasti disini. Gera ke ruang makan, Uma dah kelar nyiapin makan siangnya tuh."

Pemuda yang disahutkan asmanya lantas mendongak seraya memamerkan deretan giginya yang berbaris rapi. Jaevon menatap seorang taruna yang berdiri di ambang pintu dengan sorot penuh binarnya. Ia gegas merapikan alat melukisnya, lalu bangkit dari duduknya.

"Uma masak naon, Jev?"

"Kangkung sama ikan."

"Ikan apa?"

"Gatau gue geh. Pokoknya ikan yang berenangnya di air aja."

Jaevon mengembuskan napasnya berat seraya menoyor kepala yang lebih tua dengan kasar. "Ya, ikan mana ada berenang di udara, anjing." ayatnya membantah rosa lanturan si eka.

Bilah ranum Jevano dicebikkan penuh rasa sebal. "Kacar banget, aku gacuka."

"Najis."

"Ngumpat, cium."

"DEMI ALLAH, ANJING! UMA! SI JEVANO GAY, MA!"

"GUYON DOANG GUEEEE!"

Kedua pemuda dengan paras tampan yang sebelas duabelas dengan ksatria dari negeri dongeng itu sama-sama menyeretkan tungkai menuju arah ruang makan. Ada dua kursi yang sudah ditempati oleh Uma dan Abah, yang dimana tiga kursi lainnya tampak sedikit rumpang. Lebih tepatnya salah satu kursi, yang dimana Rendra sering menempati namun tidak dengan dina ini.

Rendra tengah berpulang ke wismanya. Dua hari yang lalu, Nawasena---selaku Ayah Rendra---mengunjungi kediaman dua taruna bersaudara itu. Koper yang dibawa, berikut pula dengan pakaian formal yang tak pernah absen Rendra lihat setiap sang Ayah kembali dari dunia kerjanya, semakin membuat Jaevon dan Jevano ikut terkejut.

Apalagi saat beliau mengucapkan sepatah ayat, tentang betapa merindunya ua berbagi kisah dengan Rendra---Jevano sampai menitihkan tirta nestapanya kala melihat wajah memelas milik Nawasena.

Uma dan Abah pun tak kalah terkejutnya. Kedatangan yang dinilai sebagai hal yang membuatnya takjub, tak berhenti tuk mengumandangkan bait tanda syukur itu benar-benar membuatnya jantungan. Kehadiran Nawasena yang dibilang lancang, namun wajar---sebab ia masih menjabat sebagai Ayah dari Narendra seorang.

Seandainya ─najaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang