24 | Sekala Kita Bercerita

31 8 0
                                    

FYI,waid : janji

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

FYI,
waid : janji.

. . .

"A-aku..."

Jaevon menatap lekat indra penglihat milik si puan pemikat. Tangannya sentiasa menjemba; tidak tahu sopan lan santun pada taruni yang sudah merelakan jantungnya dibawa pergi, pula hatinya yang menempias entah kemana.

Si nona dengan surai yang tergerai bebas merundukan sirahnya. Lenggana tatap wajah dengan tuan yang menawan. Bibir bagian bawahnya ia gigit kuat-kuat, baru kali ini puan dengan akhiran jenama Niwashita diajak nuraga bersama. Gadis itu terbiasa mencintai dalam kesendirian, masalah rasa dan karsa yang terbalas--itu urusan semesta. Biar semesta yang merencanakan, dan dirinya yang melaksanakan peran.

Tuan itu mencetuskan kurva. Namun selang menit berikutnya, kurva itu meluntur. Kuntumnya bak melebur, harsanya pun terkubur. Jaevon tak bisa menyangkal kalau dirinya pun bimbang, Jaevon takut rasanya bak halimun; kasat mata. Jaevon pun takut bila Renjani sudah punya tambatan hati yang baru, kalau ditanya kecewa atau tidak---Jaevon dengan berat hati menyatakan, dirinya kecewa.

"Kamu kenapa?"

Laungan tanya itu menguar, Renjani bak diterbangkan ke atas nirwana. Potret roman tuan citrakaranya, berada tepat di hadapannya. Renjani tetap menggeleng kuat sebagai jawaban, tak disangka, rinai matanya turun membasahi pipi gembilnya.

Jaevon turut melihatnya, pemuda itu dengan cekatan menarik dagu Renjani perlahan, menatap bola matanya yang merah sembab.

Renja menarik napas dalam---kebiasaannya setiap kali ada yang memperlakukannya lembut; adalah menangis.

"Kenapa nangis?"

"G-gak papa,"

"Aku salah, ya, udah nembak kamu?"

"B-bukan gitu, Jae..."

Jaevon tersenyum manis, lalu menyisir surai si rani dengan netra yang bersinar sunyi. "Terus? Ooohh, apa gaya nembaknya yang kampungan? Kamu mau aku nembak sambil jungkir balik, atau nembak pake pistol beneran?" guyonnya segaring keripik, tuan citrakara terkekeh manis lalu menggeleng kecil. "Bercanda. Coba sekarang jawab, ada apa dengan air mata ini?"

Gadis madhuswara hanya bisa diam, tak bersuara. Durjanya ia palingkan ke lain arah; setidaknya jangan menatap netra tuan dihadapannya. Renjani kepalang jengah, pula nestapanya yang membuncah. Kalimat yang selalu berngiang-ngiangan pada intuisinya semakin menyesakan dada.

Renjani tak mau ambil keputusan yang salah, ia harus berpikir dewasa untuk hal ini.

Merasa didiamkan bak makaroni di dalam panggangan, Jaevon pun mengikuti arah pandang si nona cendayan. Rupanya ia tengah menatap satu keluarga yang terdiri atas Ayah, Ibu, dan dua anak kecil.

Jaevon terkekeh melihatnya, ia jadi ingin menuai kembali masa kecilnya. Dulu, Jevano sempat tak terima dengan hobi melukis Jaevon, sebab apa; sebab Jevano tak pernah punya kawan main tamiyanya waktu itu. Jadilah Abah yang selalu menemani Jevano bermain, ketimbang dirinya yang asyik bercengkrama dengan palet berwarna itu.

Seandainya ─najaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang